Quantcast
Channel: Eko Endarmoko – Rubrik Bahasa
Viewing all 37 articles
Browse latest View live

Pura-Pura dalam Perahu

$
0
0

Eko Endarmoko* (Kompas, 27 Jan 2018)

Moyang kita dari banyak daerah di sekujur tanah Nusantara pernah lebih suka menegur, mengkritik, memberi nasihat, atau mengajarkan adab yang baik dengan bahasa tersirat. Orang boleh berdebat, apakah kegemaran memakai bahasa tersirat di situ adalah tanda adab yang baik ataukah cermin sikap pura-pura, semacam eufemisme yang akut.

Yang kita tahu, ungkapan dengan bahasa tersirat ini rupa-rupa bentuknya: pepatah petitih, peribahasa, bidal, tamsil—yang kesemuanya berbahan pokok simbol. Jelas juga buat kita adalah perumusan ungkapan dengan cara itu memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia moyang kita yang istimewa.

Bangun atau konstruksi peribahasa boleh dibilang selalu punya rumus atau pola, diksi yang tetap tak tergantikan. ”Kura-kura” pada Kura-kura dalam perahu, misalnya, tidak bisa begitu saja ditukar dengan ”kupu-kupu” atau ”undur-undur”. Atau ”Kambing mengembik kafilah berlalu.

Kenapa mesti ”kura-kura”, bukan yang lain? Bentuk ini rupanya sudah dipersiapkan demi menyambut kehadiran ”pura-pura” di pasase berikut yang lengkapnya sudah amat kita kenal: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Ada bentuk simetris dalam bunyi pada ”kura-kura”–”pura-pura” dan ”perahu”–”tahu”.

Pilihan atas ”kura-kura” ini rupanya bukan saja didasarkan pada pertimbangan estetika bahasa. Kupu-kupu atau undur-undur atau apa pun lainnya bisa saja berada dalam perahu. Tapi, kura-kura lebih dekat ke perahu sebab keduanya, sejauh yang kita tahu dan sejauh imajinasi kita melanglang, erat sekali pertautannya dengan perairan, sungai maupun laut.

Sedangkan ”Kambing (yang) mengembik” mengantarkan suasana biasa saja, tidak membawa pengaruh berarti pada iring-iringan orang yang berjalan di dekatnya. Tapi, ”Anjing menggonggong”, alangkah berbeda! Kafilah mestinya siaga satu, bersiap menghadapi baik suara yang cukup menggentarkan maupun sumber suara itu, anjing, yang tergolong hewan haram (jangan lupa, kafilah menyertakan pengertian-pengertian Arab dan Muslim).

Daripada mempersoalkan apakah kegemaran moyang kita memakai bahasa tersirat adalah tanda adab yang baik ataukah cermin sikap pura-pura, lebih baik saya tutup tulisan ini dengan dua catatan mengenai zaman yang berubah.

Pertama, segala bentuk peribahasa umumnya tersusun dalam bahasa Indonesia yang baik, tertib. Produksi bentuk bahasa itu yang luar biasa banyaknya di Nusantara pada zaman moyang kita menunjukkan kepiawaian mereka mengolah bahasa. Artinya, tradisi sastra masa itu hidup subur dan terawat. Kedua, mengkritik secara terbuka dan frontal dalam budaya masyarakat lama umumnya sedapat mungkin dihindari. Pilihan pada tuturan tidak langsung dengan bahasa tersirat adalah semacam siasat menjaga hubungan sosial.

Dewasa ini sudah rada sulit kita menjumpai berbagai bentuk ungkapan dengan bahasa figuratif, baik dari khazanah lama maupun kontemporer. Dan berbarengan itu, bahasa kasar penuh sumpah seranah semakin memenuhi ruang-ruang percakapan kita.

*Munsyi, Penyusun “Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia”


Bumi Datar dan Dunia Persilatan

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 24 Feb 2018)

Kredit Foto: Kompas/Wawan H. Prabowo

Perbalahan yang sudah lama selesai dan tenggelam itu tempo hari bangkit lagi. Itulah perbantahan soal ”bumi datar” versus ”bumi bulat”. Bukannya mempersoalkan kembali pokok basi itu, saya tertarik pada sesuatu yang lebih menggelitik ini. Bila bumi dan dunia bersinonim, mengapa jarang sekali atau malah barangkali belum pernah kita temukan konstruksi ”dunia datar” atau ”dunia bulat”.

Sebaliknya, bentuk ”bumi ketiga” atau ”bumi persilatan” terasa membuat kuping kita sedikit gatal. Itu sangat boleh jadi karena kita terbiasa mendengar ”dunia ketiga” dan ”dunia persilatan”.

Sebenarnyalah, apalagi mengingat bumi dan dunia bersinonim, tidak ada alasan mengatakan bumi dan dunia di sana tidak bisa saling dipertukarkan. Jadi, bumi atau dunia yang benar untuk konstruksi-konstruksi itu tadi? Sampai di sini tampaknya mesti buru-buru saya menambahkan apa yang pernah saya utarakan di lain kesempatan, bahwa tidak semua perihal kebahasaan berpaut dengan soal benar salah.

Kata depan ditulis bersambung dengan, atau awalan dipisah dari, kata yang mengikutinya, jelas bisalah kita katakan salah. Contoh: dirumah mestinya di rumah; di makan mestinya dimakan. Tapi, menyebut ”dunia datar”, ”dunia bulat”, ”bumi ketiga”, atau ”bumi persilatan”, saya kira bukan keliru, melainkan tidak lazim. Bumi datar/bulat lebih jamak daripada dunia datar/bulat. Sebaliknya, ”dunia ketiga” dan ”dunia persilatan” lebih lazim daripada ”bumi ketiga” dan ”bumi persilatan”.

Sekalipun bumi dan dunia bersinonim, kata sifat ”datar” dan ”bulat” cenderung mendekat ke bumi, sedang kata benda ”ketiga” dan ”persilatan” lebih suka menempel pada dunia. Dan, inilah yang ingin saya katakan, kecenderungan seperti itu justru seperti hendak membantah, mengingkari, kesamaan arti bumi dan dunia.

Coba sandingkanlah frasa ”bumi ketiga” dan ”dunia ketiga”, misalnya. ”Bumi ketiga” menyiratkan pengertian bahwa bumi adalah benda, yang jumlahnya lebih dari satu. Bumi adalah sebuah planet berupa benda padat bulat, berlapis-lapis, dan permukaannya tidak rata. Kita mengatakan bumi berputar pada porosnya. Kita pun mengenal energi panas bumi. Pendeknya, bumi adalah satu wujud, entitas.

Sedangkan dunia pada ”dunia ketiga” bukan merujuk pada bendanya, melainkan pada sekumpulan negara (berkembang) atau sekelompok bangsa (nonblok) yang ada di permukaannya. Dunia juga punya arti lingkungan, semesta, alam—seperti kita temukan pada ”dunia hewan” (fauna), ”dunia tumbuhan” (flora), atau ”dunia persilatan”.

Yang menarik pada bahasa, kecenderungan dua kata yang saling mendekat tadi tidak menuruti satu aturan yang tetap, pasti, kaku. Seolah-olah hendak menegaskan bahwa tak ada yang tetap dalam bahasa.

Kita ingat, selain konstruksi ”dunia hewan” dan ”dunia tumbuhan”, ada Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer.

Salah

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 31 Mar 2018)

Media kita cukup sering memberitakan, tak jarang lengkap dengan gambar atau rekaman video berdurasi pendek, penjahat kelas kambing sedang digiring ke kantor polisi. Tanpa rompi oranye, mereka memperlihatkan bahasa tubuh yang menunjukkan ekspresi sangat malu dan digayuti rasa amat bersalah.

Kontras adalah sikap para koruptor yang punya status sosial jauh lebih tinggi. Boleh anda mual, tapi beginilah faktanya. Sangat sadar kamera, tokoh dengan rompi oranye tapi tanpa saraf malu seperti bermuka tembok itu tampil percaya diri di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiap sebentar tersenyum sembari mengedarkan pandangan ke lensa-lensa kamera. Percaya diri dan banyak senyum, barangkali karena mengerti bahwa mereka (harus dianggap) ”tidak bersalah” sampai pengadilan nanti membuktikan kebalikannya.

Salah dalam ilustrasi di atas cukup jelas menunjukkan dimensi lain makna kata itu. Sebuah dimensi makna yang dapat kita lihat dalam ungkapan seperti ”rasa bersalah”. Salah yang bukan keliru ini memperlihatkan kepada kita penyimpangan terhadap apa yang dianggap normal, lurus, tertib, dan alim. Kata ini dekat berhubungan dengan urusan moral.

Agak berbeda adalah pengertiannya yang lebih jamak, yaitu ”tidak betul”, seperti salah pada jawaban hitung-hitungan perkalian, pertambahan, pengurangan, atau pembagian. Bisa juga salah yang ini berarti ”menyimpang atau berbeda dari yang seharusnya”, seperti salah sangka, salah ucap, atau salah jalan.

Keliru adalah kata lain untuk melukiskan pengertian yang sangat jamak dalam salah ini. Kita temukan pembelokan dari jalan logika atau prosedur yang lempeng lurus pada keliru. Seperti hasil kalkulasi matematika tadi, misalnya. Membawa korban kecelakaan lalu lintas yang memerlukan pertolongan segera ke gedung bioskop atau rumah makan tentu juga keliru. Atau minum obat dokter bukan tiga kali sehari, tapi sekaligus habis sekali tenggak. Sama kelirunya dengan pendapat atau anggapan bahwa aparat penegak hukum adalah manusia yang steril dari perbuatan lancung.

Dalam contoh terakhir, lebih jelas kita melihat beda salah dan keliru. Pendapat atau anggapan itu keliru, tapi perbuatan lancung di sana adalah salah (yang bukan keliru).

Dalam bahasa Indonesia arti kedua kata itu, salah dan keliru, sudah lama sangat lekat berdempetan. Salah bisa dengan gampang menggantikan keliru. ”Jawaban ujian dia banyak yang keliru/salah, ”Pandangan yang keliru/salah”, ”Banyak mitos yang terbukti keliru/salah”. Tapi, ”rasa bersalah”, tak bisa dinyatakan dengan ”rasa keliru”.

Begitulah. Sampai di sini mudah-mudahan menjadi cukup jelas bahwa secara konseptual, lewat bahasanya, orang Indonesia bukan tidak maklum akan adanya perbedaan antara salah dan keliru.

Bahwa ada yang berpikir perbedaan makna di antara keduanya kurang tajam, salah lebih berurusan dengan moral dan keliru menyangkut fakta yang tak ada hubungannya dengan moral, tidak berarti penuturnya tak memiliki kepekaan atau kesanggupan membedakan.

Atau, barangkali, ada yang berpikir mengganti leksem salah dalam bahasa Indonesia dengan dosa? Langkah begini bukan saja berlebihan, tapi juga melupakan kodrat bahwa makna sebenar-benarnya tiap kata terlihat dalam konteks.

Soal Klise

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 28 Apr 2018)

Seorang kawan pada satu hari bertanya, kenapa kita mengeja memprotes, bukan memrotes? Juga mengapa mempertinggi, bukan memertinggi? Ia berargumen, bila huruf /p/ di kedua bentuk setelah mendapat awalan /me-/ itu tidak melesap atau luluh menjadi /m/, bukankah itu berarti kaidah kpst dilaksanakan tidak secara konsisten? Ini adalah tanyaan yang sangat logis, dan sebenarnya cukup sederhana—sekalipun jawabannya saya kira tidak bisa dibilang sederhana.

Tidak sederhana karena dua hal. Pertama, bagi saya jawaban atas tanyaan tadi tak cukup memuaskan bila dirumuskan dengan sepatah dua patah kata. Kedua, penjelasan mengenai persoalan klise ini tampaknya masih perlu terus-menerus didengungkan. Memadai, kurang, atau cukup, itu perkara lain. Terus-menerus, supaya norma ini menjadi kebiasaan sebagaimana para pengendara sepeda motor (dan pemboncengnya) mengenakan helm manakala melintasi jalan raya, atau lampu depan sepeda motor menyala di siang hari bila lewat di jalan raya.

Saya sebut ”persoalan klise” sebab saya kira sudah lama dan sudah banyak orang yang membicarakannya. Paling kurang, seingat saya, dua kali sudah saya menuliskannya (Lihat ”Menyinyalir”, Kompas, 14 Juni 2014, dan ”Kaidah yang Goyah”, Tempo, 23 Juni 2014).

Keduanya kemudian dimuat dalam buku saya, Remah-Remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar (Yogyakarta: Bentang, 2017). Katakanlah saya belum bosan, bukan saja karena terdorong semangat mengulang sesuatu yang sudah menjadi klise, melainkan kebetulan ada segi lain pada pertanyaan kawan tadi yang rupanya belum tercakup di dalam kedua tulisan lama saya tadi.

Huruf /p/ di awal kata protes tidak luluh setelah kata itu mendapat awalan /me-/ karena bukan hanya satu konsonan /p/ yang ada di awal sana, tapi sekaligus dua buah konsonan /pr/ yang berderet. ”Kaidah kpst” tidak berlaku pada kata-kata yang diawali gugus atau deret konsonan seperti ini. Contoh lain: mengklarifikasi, mengkredit, memproses, menstarter, menstimulasi, mentransfer.

Dalam kasus begini, bukan ”hukum kpst” yang berlaku, melainkan ”hukum kekekalan”. Jangan pula lupa, ”hukum kpst” pun tidak jalan pada kata-kata bersuku tunggal: mengeposkan, mengesahkan, mengetik.

Berbeda adalah pada bentuk mempertinggi. Tampaknya di sini kurang disadari betul bahwa ”hukum kpst” itu dikenakan pada kata yang huruf awalnya /k/, /p/, /s/, dan /t/. Sedangkan /p/ pada pertinggi menempel pada awalan /per/ yang di situ berarti membuat jadi lebih (tinggi). Contoh lain: memperpanjang, memperluas, memperlunak. Maka, kita kenal jualah bentuk-bentuk seperti mempersoalkan, memperalat, memperbudak, memperistri.

Kaidah di dalam bahasa dibentuk berdasarkan pola-pola kebahasaan sebagaimana mereka hidup dan dipakai oleh para penutur bahasa. Bukan sebaliknya.

Kaidah bahasa tidak serta-merta menentukan, dalam arti membatasi, membekuk, mengharuskan, pada hemat saya. Jadi, janganlah kita terlalu cepat berprasangka buruk kepada para polisi bahasa. Tak ada yang bisa atau punya kuasa melarang Anda memakai bentuk-bentuk seperti memrotes, memertinggi, atau memeralat.

Silakan suka-suka hati Anda. Asal tidak lupa bahwa bahasa Anda menunjukkan siapa diri Anda.

Belantara Makna

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 8 Des 2020)

Menghidu rupanya tergolong kata yang agak asing bagi sebagian penutur bahasa Indonesia. Seorang teman menemukannya dalam satu klausa di sebuah tulisan, ”menghidu aroma kopi”. Dia mengira itu tipo alias salah tik sebab ungkapan yang lebih tepat menurutnya adalah ”menghirup kopi”, analog dari ”menghirup udara segar”. Benar begitu?

Hidu, cium. Mari terlebih dulu kita tengok sedikit lebih dekat. Kata dasar menghidu bisa jadi mengingatkan kita pada hidung. Dan maknanya kebetulan juga menaut ke sana, yaitu ’mencium’, tetapi lebih spesifik menyangkut bebauan, yaitu ’membaui’. Ini bukan berarti mencium tak berurusan dengan bebauan, tapi bau di sini lebih dimaksud sebagai sesuatu yang lain: petunjuk, informasi, gelagat—seperti pada mengendus atau melacak. ”Fulan mencium aroma tak sedap dalam rapat barusan.” Kita lihat kata mencium dipakai sebagai bahan bahasa figuratif, bahasa kias.

Sebenarnyalah, berbeda dari menghidu, mencium tidak niscaya berkenaan dengan bebauan, seperti kata dari Jawa sunmengesun yang tidak mesti disertai hasrat mendapati bau tertentu. Kurang lebih seperti itu jugalah laku anak yang mencium tangan orang tuanya pada beberapa kesempatan spesial. Mobil bisa juga mencium, mencium bajaj, misalnya. Atau bajaj mencium pantat sedan. Namun, arti mencium yang ini tentu kiasan sebab bukan berkenaan dengan bebauan, melainkan mendekat ke arti lain dari kata mencium yang meresap ke dalam bahasa kita setelah ada kontak dengan bangsa Eropa. Ini adalah mencium bukan dengan hidung melainkan dengan bibir, sinonim mengecup. Ada persentuhan di sana. Begitulah cium menegaskan perbedaan dirinya dari hidu.

Menghidu menggambarkan perbuatan mencium dengan hidung. Bagian inti yang sekaligus menjadi objek kata menghidu adalah rujukan atau tautan berupa unsur bebauan. Maka, konstruksi ”menghirup kopi” dapatlah dikatakan kurang tepat. Namun, apa atau di mana ”salah” bentuk itu?

Hirup, isap, sedot. Menghirup, yang bersinonim dengan mengisap, menyedot (udara, cairan, lewat hidung atau mulut) tidaklah dibarengi niat mendapatkan informasi tentang aroma bebauan. Ini, sekali lagi, adalah aspek  yang membedakannya dari menghidu.  Tekanan terletak pada aksi menyedot, bukan membaui, sesuatu.

Dengan begitu, tidak ada yang ”salah” pada bangun atau konstruksi ”menghirup kopi”. Menghirup di sini tentu saja berarti minum atau lebih tepat, menyeruput kopi. Ungkapan ”menghirup kopi” bukan ”salah”, melainkan menyatakan hal berbeda dari ”menghidu kopi”. Tapi, bagi saya ada yang jauh lebih menarik.

Baru saja kira lihat, hirup punya kesamaan makna dengan isap dan sedot. Pada saat yang sama, sebenarnya masing-masing terus-menerus saling menampik disama-samakan dengan memancarkan makna sendiri yang boleh dibilang unik.

Ini dapat menjadi lebih jelas manakala kata itu sudah menduduki satu tempat di dalam konteks tertentu. Bisakah Nikita menghirup perhatian publik, misalnya? Di sisi lain, bisa Anda bayangkan ada usaha jasa hirup atau isap WC? Ah, belantara makna. Sudah agak jauh masuk ke tengah sana rupanya kita.

Ember dalam Kamar Tidur

$
0
0

Eko Endarmoko (KOMPAS, 29 Des 2020)

Si sulung, perempuan, yang waktu itu (pertengahan 1990-an) baru akan masuk sekolah dasar, girang betul dengan permainan kata yang saya reka untuk dia. Keasyikannya ini sengaja saya bangun untuk menumbuhkan kegairahan dia belajar, dan bersekolah beberapa bulan lagi.

Sumber ilustrasi: Unsplash

Yang saya minta hanya dia menyebutkan apa saja yang dia ingat apabila saya mengatakan satu kata. Contoh, kamar mandi. Seperti biasanya, sambil setengah berteriak dengan mata berbinar, dia menyebut satu demi satu benda yang menurutnya berhubungan dengan kata itu, seperti air, gayung, sabun, odol, dan handuk. Lalu, waktu saya mengatakan rumah, matanya jelalatan menyapu apa-apa di sekeliling sembari menyebut tembok, pintu, kunci, lukisan, jendela,  lampu, ….

Agak rutin kami bermain itu, dengan semakin banyak kata yang menurut timbangan saya cukup dekat dengan anak seumuran dia. Biasanya sore hari sepulang saya kerja, sehabis kami mandi, sambil dia makan disuapi ibunya. Respons si sulung ini tidak selalu 100 persen klop, tetapi boleh dibilang rata-rata meleset cuma satu atau dua kata. Itu pun jarang terjadi. Pernah ketika saya menyebut kamar tidur, tiba-tiba terselip ember dalam rentetan sahutannya. Saya kaget bukan main, ”Ember?” Ia menukas, ”Iya. Waktu hujan kemarin ’kan ada ember di samping ranjang.”

Yang pokok dalam permainan sederhana itu adalah membuat penggolongan berdasarkan satu kesamaan tertentu, mengklasifikasi. Itulah aktivitas tiada henti manusia memandang dan menata dunia yang dianggap porak-parik. Dengan cara seperti itu jugalah lebih kurang kita memilih-milih kata dalam urusan komunikasi. Laku memilih ini selalunya didahului perbuatan menggolong-golongkan berdasarkan satu kesamaan tertentu.

Satu kesamaan tertentu. Dari sinilah kita mendapati konsep sinonimi, sehimpunan gugus kata yang memiliki kesamaan arti.

Kita panggil Nikita yang beberapa waktu lalu sanggup menyedot perhatian publik (”Belantara Makna”, Kompas, 8 Desember 2020). Pertanyaan yang masih menggantung: mengapa bentuk mengirup atau mengisap perhatian cenderung tak berterima, padahal hirup, isap, dan sedot memiliki kesamaan arti? Ketiganya punya satu aspek arti ”menarik sesuatu dari luar ke arah diri subyek”.

Boleh jadi ahli bahasa akan mengatakan bahwa  tiap kata unik dan menunjukkan perilaku berbeda-beda. Namun, kita bisa bilang penutur, melalui sebuah konvensi, punya kuasa penuh membentuk bahasa. Keunikan dan perilaku kata bukanlah sifat asali atau kodrat kata, melainkan selalu berada di bawah kontrol penutur.

Maka, jangan terkejut apabila mendapati amat banyak bentuk yang tak selalu sesuai dengan cakrawala harapan anda. Gadis bersinonim dengan perawan. Namun, janganlah anda sampai mempertontonkan kenaifan karena memakai bentuk tak lazim menggadisi.

Selalu ada kejutan dalam kita berbahasa—seperti ember yang seperti hadir begitu saja di dalam kamar tidur—di tengah ketekunan dan keuletan para linguis merumuskan kaidah bahasa. Kejutan yang memberi isyarat bahwa bahasa tidak bergerak dalam sebuah garis lurus.

Gaya Selingkung

$
0
0

Eko Endarmoko (Tempo, 16 Jul 2022)

Jangan terlalu terkejut atau patah arang jika Anda tidak menemukan penjelasan “gaya selingkung” di lema “gaya” dalam kamus bahasa Indonesia kita (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Coba carilah ke lema “selingkung”. Kata majemuk itu menjadi contoh, bukan berupa definisi, dalam arti kedua “selingkung”, yaitu nomina yang diterangkan begini: “terbatas pada satu lingkungan”. Jadi “gaya selingkung” kurang-lebih berarti gaya yang dipakai terbatas pada satu lingkungan tertentu.

Pengertian gaya itu tentu saja tak selalu mesti bertaut dengan penggunaan bahasa. Saya punya ilustrasi sederhana. Sekalipun logo namanya ditutup rapat, media seperti koran Kompas atau majalah Tempo saya rasa masih dapat dikenali khalayak pembacanya, misalnya. Perwajahan, tata letak, serta jenis, ukuran, dan warna huruf yang dipakai kedua media itu unik dan khas, bahkan kemudian menjadi semacam kepribadian atau warna mereka masing-masing. Warna, mungkin ini dapat kita analogikan dengan suara seseorang yang kita dapat kenali tanpa melihat orang itu.

Dengan lain perkataan, penyajian atau penampilan yang unik dan khas, yang punya kepribadian atau warna sendiri, telah menegaskan—terkadang terasa nadanya agak berlebihan—sebuah identitas.

Pengertian gaya itu amat mudah dihubungkan dengan bahasa. Sebab, kata “gaya” di situ paling mungkin disandingkan dengan “bahasa”, diartikan sebagai “gaya bahasa”, bukan “gaya berat” atau “gaya sentrifugal” atau “gaya tarik bumi”, umpamanya. Namun, ini adalah gaya selingkung dalam arti sempit atau terbatas. Pengertian terbatas inilah yang dimaksud dalam bagian pembicaraan seterusnya.

Gaya selingkung dikenal di dunia penerbitan, terutama buku dan jurnal, serta surat kabar dan majalah. Gaya ini biasanya bertolak dari asumsi: “Bahasa kami bisa jadi agak berbeda dari bahasa Anda, tetapi kami berusaha menuruti kaidah bahasa yang berlaku”. Strategi yang paling mudah ditempuh adalah memakai kata atau istilah “sendiri” secara ajek.

Pemakaian kata atau istilah sendiri tampaknya menjadi unsur paling menonjol dalam gaya selingkung. Seolah-olah gaya selingkung hanya berurusan dengan diksi. Barangkali karena komponen ini lebih sempit, dan sebab itu lebih mudah dikenali, daripada unsur tata bahasa yang lebih kompleks.

Bersama majalah dan koran Tempo, koran Kompas cenderung menggunakan bentuk “subyek” dan “obyek”—bukan “subjek” dan “objek” sebagaimana disarankan oleh KBBI. Namun, pernah kata “obyek” dalam satu tulisan saya berubah jadi “objek” [lihat “Mengomunikasikan atau Menyampaikan”, Kompas, 6 Desember 2014. Setelah dimuat ke dalam buku Remah-Remah Bahasa, Perbincangan dari Luar Pagar (2017), ejaan kata itu saya kembalikan menjadi “obyek”].

Namun, Kompas cenderung menulis Perancis (dengan swarabakti), tetapi mengeja Inggris. Ini berbeda dari Tempo yang cenderung tanpa swarabakti, sesuai dengan saran KBBI: Prancis, Inggris.

Demikianlah. Tampaknya gaya selingkung tidak serta-merta menunjukkan kehendak menyelaraskan bahasa dengan ketentuan bahasa Indonesia yang berlaku. Yang agak mencolok buat saya adalah keajekan Kompas menulis “Muslim”, bukan “muslim”. Dalam tulisan saya “Bahasamu Kastamu” (Kompas, 7 November 2015), kata yang menurut ketentuan berawal huruf kecil itu diubah menjadi huruf kapital. Seperti nasib kata “objek” tadi, setelah dimuat ke dalam buku Remah-Remah Bahasa, ejaan “Muslim” itu saya kembalikan menjadi “muslim”. Ini lebih masuk akal, sebab “muslim” berarti “penganut agama Islam”. Yang perlu huruf kapital di situ adalah Islam, bukan muslim.

Kita kemudian jadi bertanya-tanya, seberapa penting sebenarnya bentuk bahasa baku bagi kita? Sejak kapan dan bagaimana gerangan gaya selingkung menjelma jadi tempat berlindung?

Rumpang

$
0
0

Eko Endarmoko (Tempo, 3 Sep 2022)

Dengan bahasa, manusia berikhtiar menyingkap misteri alam, antara lain dengan memberi nama atau sebutan kepada benda-benda—baik konkret maupun abstrak—juga kepada ide-ide. Usaha itu, terutama di dunia ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, terus berlangsung sampai hari ini. Namun, kita tahu pasti selalu ada saja yang luput.

Tentu saja mustahil menamai isi semesta, satu demi satu. Akan jadi seberapa tebal kamus yang mendeskripsikan dan merekam semua itu? Tulisan berikut ini hanyalah sebuah catatan kecil atas sekelumit fenomena luput itu.

Selain “sini”, bahasa Indonesia mengenal “situ” dan “sana”. Bentuk “sini” menunjuk tempat ini, dan lebih jauh dari “sini” adalah “situ” (tempat itu). Lalu, ada “sana” yang menunjuk pada tempat lebih jauh lagi, lebih jauh dari “situ”. Kita mengenal ungkapan “Nun jauh di sana” yang melukiskan betapa jauh sesuatu itu dari kita, seperti kerlap-kerlip lampu di sebuah kota di bawah yang kita lihat dari punggung bukit.

Leksem atau kata “sana” yang rasanya agak berbeda kita dapati dalam satu baris lagu kebangsaan “Indonesia Raya”: “Di sanalah aku berdiri”. Bentuk “sana” yang ini tersirat merangkum sekaligus keterangan tempat dan keterangan waktu.

Yang tidak kurang menarik, berdampingan dengan itu, kita mengenal kata penunjuk “ini” (untuk benda di sini) dan “itu” (untuk benda di situ). Namun, tidak atau belum pernah kita temukan kata penunjuk “ana” (di sana).

Kita tidak paham mengapa bahasa kita tidak (merasa perlu) punya kata “ana”. Barangkali fenomena seperti ini dapat kita sebut rumpang atau rongak. Rumpang merujuk pada keadaan bersela pada satu deretan benda. Kurang-lebih seperti keadaan ompong. Rumpang dalam bahasa di sini dapat terlihat lebih terang dalam bingkai pandangan biner: sini-ini, situ-itu, sana-ana.

Rumpang dalam soal keruangan tadi seperti mengisyaratkan bahwa penutur bahasa Indonesia umumnya tidak terlalu peduli pada hal-hal yang berhubungan dengan ruang, maka tidak punya standar ukuran yang akurat. Ini mirip dengan soal waktu: sebagian orang lebih akrab dengan sebutan bakda atau setelah isya, misalnya, daripada satuan waktu yang persis. Persepsi kita tentang ruang dan waktu sangat cair, mudah mulur-mungkret.

Selain menyangkut dimensi ruang, ada bentuk rumpang lain, yang kita lihat di dalam istilah kekerabatan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan anak dan orang tua. Anak tidak beribu (meninggal atau cerai) kita kenal dengan sebutan “piatu”. Anak tidak berayah kita sebut “yatim”. Dan, anak yang sudah tidak punya kedua orang tua lazim kita sebut “yatim piatu”.

Lihatlah, bahasa kita punya sebutan untuk anak yang tak lagi punya orang tua, salah satu (“yatim” atau “piatu”) atau keduanya (“yatim piatu”). Pengertian anak di sini umum belaka, tidak disebut spesifik apakah anak kandung atau anak pungut, juga tidak jenis kelaminnya.

Yang lebih patut kita catat, rupanya bahasa Indonesia kita tidak punya sebutan untuk kebalikannya, yaitu untuk orang tua—bapak, ibu, atau keduanya—yang sudah tidak punya anak (karena si anak sudah meninggal). Dalam bahasa kita hanya anaklah yang ditandai dengan penyebutan (“yatim”, “piatu”, “yatim piatu”), sedangkan orang tua tidak punya penyebutan sejenis.

Fakta itu sulit, kalau tidak dapat dikatakan mustahil, dihubungkan dengan persepsi mengenai derajat dalam strata sosial. Tidak dapat dengan serta-merta orang mengatakan bahwa fakta itu menjungkirkan pandangan yang lazim. Bahwa anak berderajat lebih tinggi daripada orang tua dalam kebudayaan kita. Lebih tinggi, lebih penting, sebab seperti diistimewakan dengan penyematan sebutan untuk memberi tanda tersendiri. Untuk apa penandaan jika yang ditandai tak penting?

Pandangan jungkir balik tentang derajat itu telah dipatahkan, juga oleh bahasa, yaitu oleh fakta bahwa bahasa Indonesia tidak mengenal ungkapan “bekas/mantan anak”, padahal ada ungkapan “mantan suami” atau “mantan istri”. Jangan lupa, bahasa kita juga punya leksem atau kata untuk orang tua yang sudah tak punya pasangan, entah meninggal entah cerai. Kita tahu persis istilah “duda”, untuk suami yang tak lagi punya istri, dan “janda”, untuk istri yang tak bersuami lagi.

Tetap menggoda adalah pertanyaan mengapa ada rumpang dalam bahasa kita, antara lain dalam soal keruangan dan kekerabatan seperti yang baru saja kita bicarakan.


Asli

$
0
0

Eko Endarmoko (Tempo, 23 Okt 2022)

Kompleks niaga di dekat rumah saya—pengembang menamainya Marrakash Square—setiap hari, pagi dan sore, menjadi gelanggang tempat warga perumahan sederhana di sekitarnya, termasuk saya tentu saja, mencari keringat. Entah berjalan kaki, joging, entah bersepeda di jalur jalan yang memutar. Sementara itu, alun-alun di tengah biasanya diisi beberapa gerombol manusia. Ada anak-anak bermain bola, remaja berlatih pencak silat atau baris-berbaris, atau ibu-ibu yang bersemangat senam aerobik diiringi suara musik berisik.

Hampir setiap pagi saya jalan santai mengitar di sana sampai tiga-empat putaran. Aktivitas ini memakan waktu kurang-lebih 15 menit, cukup membuat tubuh kuyup berkeringat.

Sering, sembari berjalan beriringan dengan beberapa kenalan sepantar di bawah sorot matahari pagi, ada saja yang iseng bertanya kepada saya, “Bapak aslinya mana?”

Karena sudah sering mendapat pertanyaan serupa, jawaban saya nyaris klise. Selalu dimulai juga dengan pertanyaan, “Asli itu maksudnya apa, ya?” Mudah diterka dari bahasa tubuhnya, si penanya tampak kelimpungan.

Belum hilang bingungnya, segera saya susulkan beruntun pernyataan demi pernyataan. Saya katakan, ibu saya dari Yogya, bapak saya dari Pemalang. Namun, saya, yang lahir di Tarempa, Riau kepulauan, dan besar di Jakarta, tidak dapat berbahasa Jawa. Setelah menikah, saya tinggal di wilayah Bekasi, sampai sekarang. “Nah,” saya tutup dengan pertanyaan lagi, “saya asli mana kalau begitu?”

Lawan bicara saya tertegun sebentar, sebelum menjawab pendek, “O, artinya Bapak asli Jawa.” Sorot matahari pagi seketika terasa lebih tajam menggigiti kulit. Dan, saya mendadak kehilangan selera melanjutkan percakapan.

Begitulah. Makna kata asli terkadang kabur, tidak tegas benar. Ini tentu tidak hanya kita lihat pada kata yang kebetulan punya arti lebih dari satu ini. Sebenarnyalah ada banyak kata tampak seperti sengaja mengelak dari usaha kita merumuskannya agar menjadi lebih bening, terang-benderang. Terkadang kabur, sebab bisa terjadi, justru pada saat artinya mulai agak jelas, menyembul dari sana pertanyaan (-pertanyaan) baru.

Apabila yang dimaksud asli oleh teman jalan pagi saya tadi adalah daerah atau tempat asal, jelas saya berasal tidak dari Jawa. Ia saya kira bukan tidak paham akan fakta sebening itu, bahwa kedua orang tua sayalah yang asli Jawa, lahir di atau berasal dari Jawa. Ia hanya sudah dikecoh, dikelirukan oleh kebingungannya sendiri. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah benar ibu dan/atau bapak saya asli Jawa (baca: pribumi)? Bagaimana jika generasi kesekian moyang kami adalah pendatang di bumi Nusantara, kakek buyut saya dari tanah Madagaskar dan nenek canggah saya dari dataran Mongolia, misalnya?

Asli di situ cenderung menempel pada murni, tulen. Kita ingat ada madu asli di samping ada pula susu murni atau lelaki tulen. Yang kita lihat di sini, asli menegaskan identitas diri sendiri sambil menolak unsur luar dirinya. Tak ada campuran. Namun, pada saat yang sama, ini paradoksal, peneraan semacam stempel asli pada sesuatu malah kerap menerbitkan sangsi.

Maka, apabila asli yang dimaksud adalah pribumi, bukan peranakan, ini pastilah lebih bermasalah.

Sebelum pindah ke kediaman sendiri di daerah dekat Marrakash Square, saya tinggal di rumah kontrakan di perumahan yang letaknya bersebelahan. Pada hari-hari rusuh 1998, suatu siang ketika kekacauan mulai menjalari daerah kami—deretan rumah toko dan kompleks perumahan kami hanya berjarak tak sampai seratus meter—beberapa tetangga meminjam sajadah kepada kami untuk disampirkan di pintu pagar depan rumah. Sementara itu, dinding depan rumah ditulisi “ASLI/PRIBUMI” dengan cat semprot. Kedua benda itu, sajadah dan grafiti, mereka perlakukan sebagai semacam jimat dan larik doa. Seolah-olah dengan itu mereka luput dari amuk massa yang bengis.

Kerusuhan keji itu, kemudian kita tahu, meledak di banyak daerah dengan derajat berbeda-beda. Berlangsung sampai berhari-hari, aparat keamanan seperti lumpuh tak bergerak. Skala eskalasinya yang seperti menuruti sebuah skenario sangat rapi telah berhasil mendesak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Ini bagian yang sangat ganjil dari kisah itu. Kelompok penyerbu atau penyerang adalah mereka yang dengan congkak berkeras mengaku asli/pribumi, sedangkan sasaran atau korban mereka adalah golongan bukan asli, nonpribumi/peranakan.

Lihatlah, asli tidak hanya menerbitkan sangsi, tetapi juga biadab, dalam penghadap-hadapannya dengan yang bukan asli.

Lisan

$
0
0

Eko Endarmoko (Tempo, 25 Des 2022)

Pada 1980-an, kita dapat menjumpai pemandangan begini: barisan orang yang menunggu giliran di depan gardu telepon umum memanjang di trotoar sebuah jalan. Berkali-kali orang di barisan terdepan mengetuk pintu kaca, mengingatkan, tetapi pengguna di dalam gardu sama sekali tidak mengindahkan. Padahal, entah sudah berapa keping koin tiap sebentar ia masukkan ke boks telepon.

Di saat begitu, kita seperti diingatkan lagi bahwa di situ telepon milik publik telah digunakan secara salah. Seharusnya yang dibicarakan lewat telepon, apalagi telepon milik umum, adalah hal-hal pokok dan penting saja. Disampaikan pendek-pendek, cepat, tetapi tetap jelas. Dan, bicara langsung ke inti, tak perlu berbasa-basi. Begitulah kira-kira pikiran si penunggu yang masygul.

Namun, yang kita lihat tak lama berselang, ketika si orang jengkel ini mendapatkan gilirannya, ia mengulangi persis kelakuan orang sebelum dia. Sebagian dari kita barangkali akan berkata, telepon, salah satu benda yang lahir pada fajar zaman baru menjelang abad ke-20, telah dimanfaatkan oleh penduduk negara berkembang untuk melanggengkan kebiasaan lama mereka turun-temurun. Perangkat modern itu malah mereka pakai mengobrol ngalor-ngidul, bergunjing, bukannya demi efisiensi, yaitu memendekkan jarak dan waktu.

Di saat seperti itu pula kita seperti disadarkan betapa bahasa lisan sebenarnya cukup mengusik perhatian, antara lain karena ragam ini menunjukkan semacam kontradiksi di dalam dirinya. Maka, fenomena itu patut kita periksa dan catat, sekalipun hanya sekilas dan ala kadarnya, di sini.

Bahasa lisan, seperti dalam percakapan lewat telepon tadi, punya kecenderungan berpanjang-panjang. Namun, segera juga kita dapati, “panjang” itu tidak serta-merta berhubungan langsung dengan bahasa. Malah kita menjumpai banyak bentuk kata, terutama verba, yang ringkas, lebih pendek dari ragam tulis. Dapat kita menduga, bentuk verba seperti itu adalah pengaruh dialek Melayu-Betawi.

Umumnya verba menjadi sedikit lebih pendek dari ragam bahasa Indonesia formal dalam bentuk tulis, karena awalan menghilang sementara bentuk nasal tetap menempel di awal kata dasar. Misalnya “menyikat”, “menyenggol”, “menyusul” memendek jadi “nyikat”, “nyenggol”, “nyusul”. Boleh kita tambahkan (perhatikan beberapa pasang bentuk berikut): “mencomot-nyomot”, “menciprat-nyiprat”, “mengomel-ngomel”, “mengopi-ngopi”, “menguping-nguping”, atau “menghadang-ngadang”. Ada juga transformasi yang bercabang dua. Misalnya “menggarong” menjadi “ngegarong” atau “nggarong”. Contoh lain, “menggali” dapat menjadi “ngegali” atau cukup “nggali”.

Penyebab bahasa lisan cenderung berpanjang-panjang bukanlah terutama faktor bentuk bahasa, melainkan bentuk pertuturan. Di dalam suatu tindak tutur (speech act), sering sekali pengujar mengulang—biasanya disusul dengan parafrasa atau uraian sedikit lebih panjang-lebar—demi memperjelas sesuatu yang baru saja ia ujarkan. Itu adalah respons atas pertanyaan lawan bicaranya nun di seberang sana. Yang sebenarnya memerlukan durasi lebih lama adalah pengulangan pesan, termasuk ujaran yang bertele-tele alias melantur.

Ada pandangan bahwa ragam lisan, sebagai medium komunikasi, punya lebih banyak kelemahan dibandingkan dengan bahasa tulis. Lihat, misalnya, uraian A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra (1984, halaman 26–30) tentang tujuh ciri bahasa tulis.

Teeuw menyinggung juga unsur suprasegmental dalam ragam lisan (intonasi, nada, irama) serta mimik dan gestur yang dapat lebih memuluskan penyampaian informasi dari pengujar ke pendengarnya. Saya ingin menambahkan, dalam tindak tutur melalui telepon, malah kita temukan satu lagi aspek yang unik dan unsur ini tidak ada dalam bahasa tulis.

Lewat gerak-gerik penelepon di balik kaca dinding gardu telepon umum, kita bisa menduga dengan siapa dia berbicara. Sosok lawan bicaranya mungkin sekali berderajat lebih tinggi atau ia hormati menilik sikap tubuh si penelepon yang sangat santun. Ia tampak berkali-kali menganggukkan kepala sambil matanya melihat ke bawah. Padahal, jelas lawan bicaranya tidak sedang berada di situ. Semua perilaku ganjilnya itu spontan belaka. Tidak ia sadari bahwa ada banyak orang di luar memperhatikannya sejak tadi. Pemandangan absurd itu tak pelak menjadi penawar rasa jengkel para penonton yang lama menunggu giliran bicara.

Dalam Islam ada ajaran “Jagalah lisanmu”. Dari arah berbeda, peradaban tua Cina konon mengenal ungkapan “Mulutmu harimaumu”. Namun, keduanya tentu saja bukan lisan biasa, sebab beroperasi di tataran lebih tinggi: budi pekerti.

Tambun

$
0
0

Eko Endarmoko (Majalah Tempo, 21 Mei 2023)

Adik saya di mobil depan menelepon, “Mas, tampaknya jarak kita kelewat berjauhan. Nanti kami tunggu di depan, di pintu kereta, ya?” Bagaimana bisa ia, bersama rombongan kecil di mobilnya, menunggu di pintu itu. Sebab, pintu kereta pastilah menempel jadi satu dengan tiap-tiap gerbong kereta api.

Seperti mendengar gumam saya, keponakan yang duduk di sebelah mengatakan pintu kereta yang dimaksud itu bukanlah pintu untuk masuk ke atau keluar dari gerbong kereta, melainkan “pintu pelintasan kereta”. Dan benar saja. Di tepi jalan raya di muka “pintu kereta” di Jalan Pramuka, terlihat adik saya di samping mobilnya melambai-lambaikan tangan.

Pintu kereta. Jangan tergesa-gesa menuduh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) alpa mencantumkannya manakala Anda agak payah menemukannya. Letaknya agak tersembunyi, maka perlu sedikit lebih ulet mencarinya.

Sudah sejak edisi I (1988), II (1991), III (2001), IV (2008), hingga edisi terakhir (V, 2017, termasuk versi daring yang terakhir dimutakhirkan pada Oktober 2022) KBBI menyajikannya bukan sebagai sublema “pintu”—sebuah cara yang lazim dalam penataan isi kamus demi memudahkan pengguna mencari sebuah kata atau ungkapan. Letaknya di semua edisi KBBI tadi agak tersamar. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan dalam contoh kalimat dari arti keempat lema “pintu”.

Di semua edisi KBBI kita baca rumusan yang sama belaka: palang (pada) jalan: rumah kira-kira persis 50 m dari — kereta api. Kita bandingkan dengan penyajian oleh Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) W.J.S. Poerwadarminta (dalam arti kelima lema “pintu”) seperti ini: palang pd jalan yg melintasi jalan kereta api: mis. rumahnya tak jauh dari — kereta api Cikini (Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keempat, 1966).

Status “pintu kereta” yang bukan unit makna sendiri saya kira bermula dari khilaf KUBI, tapi terus dikutip mentah-mentah oleh KBBI. Paragraf di atas perlu segera kita susulkan dengan dua catatan berikut ini. Pertama, “palang (pada) jalan” bukanlah definisi yang tepat untuk “pintu kereta”. Akses di banyak perumahan juga tidak sedikit yang diberi palang, bahkan sampai jalan-jalan lebih kecil di dalam kompleks. Palang itu biasanya berupa sebatang besi—lazim disebut portal—dan di sisi seberangnya tidak selalu ada rel kereta api yang membentang arah sejajar palang. Dalam definisi KUBI ada unsur tambahan penting: “yg melintasi jalan kereta api”. Rumusan ini jelas lebih tegas dan lebih akurat daripada rumusan KBBI.

Kedua, menyangkut struktur kalimat contoh. Tercekat sebentar saya membaca kalimat contoh seperti begitu dalam KBBI—sebuah buku rujukan primer bahasa Indonesia. Bukan saja ia tidak punya predikat, tapi juga subyeknya tidak bertakrif, alias tak tentu. Itu rumah apa, atau rumah siapa? Kita lihat subyek pada kalimat contoh KUBI lebih spesifik, bukan hanya “rumah”, melainkan “rumahnya”.

Catatan di atas implisit mengatakan, satu orang Poerwadarminta lebih cakap dan cermat daripada satu tim besar yang mengeroyok penyusunan tiap edisi KBBI. Lihatlah, perumusan sublema “pintu kereta” yang sedikit berbeda itu memberi kesan kuat semata didorong hasrat menghindar dari anggapan sekadar menyalin tanpa pikir panjang, tanpa sikap kritis. Boleh jadi juga tidak disadari bahwa perbuatan sengaja mengubah itu malah membawa implikasi menyeleweng dari segi tata bahasa.

Mulai KBBI edisi IV, penyajian kata majemuk ini mengalami pengubahan (bukan penyempurnaan) yang boleh dibilang unik. Baik dalam edisi IV maupun V bentuk “pintu kereta” masih tercatat dengan cara serupa. Tapi, pada saat yang sama, dua edisi terkemudian itu menambahkan bentuk “pintu pelintasan kereta api” di bawah lema “pintu”. Gabungan kata ini dirumuskan dengan lebih baik: pintu yang terdapat di persilangan antara jalan raya dan rel kereta api dengan atau tanpa penutup.

Sebutan “pintu kereta” yang seolah-olah dikoreksi menjadi “pintu pelintasan kereta api” tidak membatalkan bentuk yang pertama. Tidak membatalkan, sebab ia tetap tercatat dalam KBBI dan hidup di tengah penutur (dalam bentuk elipsis). Jadi kita mendapati sekaligus dua bentuk “pintu kereta” ataupun “pintu pelintasan kereta api”, dan keduanya merujuk pada referen yang sama belaka.

Kemenduaan seperti itu seolah-olah melanggengkan sembari mengeraskan sebuah ambisi tampil “asal lebih tambun” dari edisi terdahulu. Saya teringat—ini sekadar sekelumit contoh—beberapa pasang varian bentuk (“cape-capai”, “prei-perai”, “reak-riak”, serta “konde-kundai”) yang dengan serakah masih diborong masuk ke dalam baik edisi IV maupun V tanpa rujuk silang (lihat “Jumlah Dahulu, Mutu Nanti Dulu” dalam Tempo, 25 Februari 2018).

Kemenduaan dalam KBBI perlu dan bisa segera disudahi. Dalam hal “pintu kereta”, misalnya, dapat dengan menyisihkan arti keempat “pintu”. Ini mengingat, tadi sudah saya singgung, rumusannya lebih cocok untuk lema “portal”. Sublema “pintu kereta api” dapat ditambahkan tapi kemudian dirujukkan ke “pintu pelintasan kereta api”.

Ikhtiar sederhana begitu barangkali lebih patut ditimbang daripada melanggengkan ambisi tampil lebih tambun.

Pengalaman

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 18 Jul 2023)

Ada senarai kata bersinonim yang, meski semua punya acuan sama, tiap kata di dalamnya dapat ditafsir atau dirasa berbeda oleh tiap-tiap orang. Beda penangkapan ini karena ada hubungan emosional antara referen dan pemakainya. Maka penulis bisa jadi sangat subyektif dan terkadang sedikit bimbang saat menetapkan pilihan. Kita ambil satu contoh agak klise, kata meninggal.

Bayangkan ketika menjelang jam tenggat habis, seorang wartawan, si Polan, sedang menyelesaikan laporan dan ia sampai pada kata meninggal yang perlu dia ketik. Istri mendiang adalah teman dekat Polan, sedangkan suami temannya itu pejabat teras pelat merah yang baru kemarin siang ditetapkan sebagai tersangka megakorupsi. Ia menghembuskan nafas (KBBI: mengembuskan napas) penghabisannya semalam karena serangan jantung.

Bentuk menghembuskan nafas penghabisan secara naluriah Polan hindari. Terlalu panjang, mengkhianati asas kehematan di dunia jurnalistik. Tapi kata meninggal juga bagi Polan terlalu biasa, kurang menggugah. Maka dia pun giat mencari padanannya.

Rupanya ia enggan menggunakan kata mangkat dan pada saat yang sama, bawah sadar Polan menampik kata-kata yang menurutnya bernada kasar atau kurang pas, seperti mati, tewas—apalagi modar atau mampus.

Demikianlah. Memilih satu di antara senarai kata bersinonim tentu bukan pengalaman Polan seorang. Kita bisa sependapat bahwa kata meninggal sudah amat jamak, atau bahwa kata mangkat tidak patut untuk suami sahabatnya yang sudah menggasak uang rakyat itu. Tapi bisa juga anda malah memilih bentuk meninggal, tidak seperti pilihan Polan, tutup mata.

Penetapan pilihan di antara sejumlah kata bersinonim dalam contoh di atas kita lihat sedikit banyak melibatkan perasaan si pengguna. Ada contoh lain, teman, yang merentang dari sahabat (karib) sampai sekadar kenalan atau relasi. A dan B mengenal Z. Sementara A menyebut Z karibnya, bagi B si Z itu tak lebih dari kenalannya belaka.

Di sisi lain, ada sinonimi yang tidak banyak melibatkan perasaan, tidak menaut pada kedekatan emosional referen sebuah kata dengan pemakainya. Yang kita dapati di sini adalah soal apakah pemakaiannya lazim, sejalan dengan konvensi penutur bahasa yang bersangkutan. Dan, tentu saja, apakah kata itu cukup persis mewakili maksud penutur.

Kata jatuh (sebuah kata umum, generik, yang punya relasi makna dengan banyak sekali kata lain) misalnya, bersinonim antara lain dengan gugur dan ambruk. Daun atau kelopak bunga kering kita katakan gugur, sedang ambruk lazim untuk menyebut bangunan tinggi, misalnya. Pasti ganjil bila dibalik.

Jeanne Martinet (Semiologi, Jalasutra, 2010), menegaskan bahwa linguistik tidak berurusan dengan makna. Artinya, kita tak bisa banyak berharap pada ilmu bahasa yang tidak mengajarkan apa arti (baca: definisi) sebuah kata. Semantik mengeksplorasi bukan makna an sich, melainkan pengertian, berbagai jenis dan aspek makna, serta rupa-rupa relasi makna antara satu kata dan lainnya.

Pertanyaan yang masih menggantung, bagaimana kita dapat memahami makna kata sebelum menaruhnya dalam konteks kalimat dengan sepatutnya. Persis di sinilah kita teringat sebuah petuah lama. Pengalaman adalah sebaik-sebaiknya guru.

Merdeka

$
0
0

Eko Endarmoko (Majalah Tempo, 13 Agu 2023)

Kujalani apa adanya
Aku bahagia
Bebas lepas tanpa beban
Aku merdeka
(Steven & Coconuttreez, “Bebas Merdeka”)

Sembari mengetik, saya cukup sering membuka sekaligus beberapa layar lain untuk menjelajahi situs-situs penyedia bacaan referensi, musik, dan kadang film—semua gratis—serta tentu saja media sosial.

Beberapa waktu lalu aktivitas mengetik mendadak mesti saya hentikan karena sebuah lagu lama. Dulu itu, sekarang masih, saya tertarik karena yang saya dengar adalah langgam reggae ala Bob Marley dalam sebuah lagu berbahasa Indonesia (Steven & Coconuttreez, 2005). Tapi kali ini saya lebih tertarik pada judulnya, “Bebas Merdeka”.

Mungkin Anda bertanya, bukankah dua kata itu bersinonim? Kenapa tidak dipakai satu saja, tapi ini malah ditaruh bersandingan? Agak sukar kita membedakan makna dua kata yang sangat bermiripan itu. Apa perbedaan di antara keduanya? Atau apakah keduanya identik sempurna—sebuah gejala kebahasaan yang langka? Langka, juga dalam bahasa Indonesia, apalagi menimbang ada rupa-rupa pengimbuhan yang mengubah arti.

Penjajaran dua kata bersinonim seperti itu tentu bukan hal baru. Bahasa Indonesia kita sudah lama mengenal bentuk majemuk duka lara atau hancur lebur, misalnya. Tidak bersinonim mutlak, tapi cukup jelas kata kedua mempertegas, mengeraskan arti kata yang pertama, atau sebaliknya.

Barangkali malah menguntungkan bahwa bahasa (Indonesia) tidak punya sinonim absolut. Bahasa jadi terhindar dari ancaman kehilangan pesonanya yang penting. Sebaliknya, yang kita dapati adalah khazanah rumpun kata yang sekadar punya kedekatan maknawi, tidak sama mutlak. Ini beberapa contoh: tolong-bantu, kejadian-peristiwa, atau itu tadi, bebas-merdeka.

Ada hal lain yang perlu kita garis bawahi pada kwatrin lagu Steven & Coconuttreez di atas. Selalu larik “Aku merdeka” (huruf miring dari saya) didului baris “Bebas lepas tanpa beban”. Ada paralelisme bebas lepas dengan frasa yang dijadikan judul. Lihat jugalah, merdeka di sana punya kesejajaran makna sekaligus dengan tiga bentuk lain: bebas, lepas, serta tanpa beban.

Konstruksi bebas merdeka mengantarkan kepada kita pengertian bahwa ada sesuatu yang tidak terikat oleh atau tergantung pada apa pun di luar dirinya. Boleh juga dirumuskan dalam bentuk lain: otonom. Bung Karno menyatakannya dalam akronim berdikari.

Merdeka atau bebas oleh Steven & Coconuttreez diartikan sebagai lepas atau bebas dari sesuatu yang entah memberatkan entah mengekang—persis seperti Indonesia merdeka, yang bebas dari penjajahan Belanda pada 17 Agustus 1945.

Kita tengoklah, kebebasan dalam “kebebasan berbicara” atau “kebebasan berserikat” sama belaka dengan kemerdekaan. Namun kemerdekaan Indonesia terasa oleh kita agak berbeda dengan kebebasan Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan, apa persisnya perbedaan bebas dengan merdeka?

Setidaknya ada dua aspek pembeda yang dapat kita kenali. Pertama, kehadiran (atau ketiadaan) unsur penghambat/pembatas. Dalam data kebahasaan mudah kita temukan bentuk-bentuk seperti pasar bebas, terjun bebas, alam bebas, pergaulan/seks bebas. Beberapa contoh terbatas ini mengantarkan pengertian bahwa bebas berkait dengan keadaan sangat longgar, leluasa, malah cenderung bebas sebebas-bebasnya, liar. Semua kecenderungan itu tidak kita temukan dalam merdeka, yang lebih dekat ke keleluasaan tanpa menjadi liar. Barangkali pemahaman seperti inilah yang menjadi pertimbangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memilih istilah kurikulum merdeka, bukan kurikulum bebas.

Kedua, bebas punya komponen makna “sudah tidak ada lagi”. Ini kita dapati dalam bentuk-bentuk seperti bebas bea, bebas alkohol, atau bebas racun, misalnya. Tentang kebebasan, Isaiah Berlin membedakan bebas dari dan bebas untuk.

Sampai di sini bolehlah kita bertanya, apakah kemerdekaan Indonesia searti dengan pesan lagu reggae tadi, yakni bebas dari dan bukan bebas untuk. Bisa begitu, tapi tampaknya ini berlaku hanya untuk menit-menit ketika teks proklamasi dibacakan Sukarno di halaman rumahnya (sekarang Gedung Proklamasi) dan beberapa saat sesudahnya.

Dalam konteks (bahasa) Indonesia, merdeka pernah sama sebangun dengan bebas dari. Kini saya kira pengertian begitu perlu dirumuskan kembali. Di alam merdeka sekarang kita sedang menyaksikan sebuah perubahan penting.

Segelintir pembenci (baca: warga Indonesia yang merdeka) pemerintah yang sah di era lalu terus-menerus dihantui kemungkinan bernasib sama dengan pendahulunya (diculik, disekap, dianiaya, dihabisi karier atau bahkan hidupnya). Kini, kelompok serupa itu bebas untuk berbuat apa saja, tanpa momok rasa ngeri sedikit pun.

Demikianlah. Dulu, kita mengenal bukan merdeka melainkan bebas becak atau bebas buta huruf. Kini, yang lebih patut kita idamkan adalah bebas buta adab. Merdeka!

Gado-Gado

$
0
0

Eko Endarmoko (Majalah Tempo, 15 Okt 2023)

H.O.S. Tjokroaminoto. Singkatan berupa tiga huruf ini biasa kita lafalkan “hos” dengan huruf o di tengah. Ketiga huruf itu adalah singkatan dari Haji Umar Said.

Saya bertanya-tanya mengapa wakil bunyi u, potongan dari kata Umar, ditulis dengan huruf o? Ada penjelasan yang masuk akal. Penulisan begitu berasal dari Oemar dalam ejaan Van Ophuijsen (1901-1947). Tapi itu masih menyisakan tanda tanya. Kalau begitu, mengapa huruf yang diambil o dan bukan oe. Namun ada soal lain yang lebih mengganggu dalam penulisan nama tadi, yakni inkonsistensi.

Ketika tj dibarui menjadi c, huruf vokal o pada singkatan—yang menurut kacamata awam, dengan mengingat ejaan Van Ophuijsen, “seharusnya” oe—tidak diubah menjadi huruf u menjadi H.U.S., sesuai dengan pelafalannya dan sesuai pula dengan ejaan yang berlaku kemudian, baik ejaan Suwandi (1947-1972) maupun Ejaan yang Disempurnakan (1972-sekarang).

Persoalan tadi timbul antara lain karena ejaan, ikhtiar manusia melambangkan bunyi bahasa ke bentuk tulisan berupa huruf, tidak pernah sepenuhnya berhasil. Sebab, alat ucap manusia normal sanggup memproduksi beraneka bunyi bahasa yang jauh lebih banyak dari jumlah huruf dalam daftar alfabet. Apalagi bila ditambah dengan nada naik-turun, tekanan keras-lemah, atau tempo panjang-pendek yang tidak tercakup dalam sistem ejaan kita. Hal-hal ini dalam linguistik lazim dikenal sebagai unsur suprasegmental.

Kyoko Funada, seorang teman yang mengajar di Kanda University of International Studies, Jepang, memberi tahu saya bahwa, dalam bahasa Jepang, kata hashi, bila nada suku kata keduanya naik berarti jembatan dan bila turun berarti sumpit. Tapi, bila nadanya rata saja atau datar, ia mengandung arti lain lagi, yaitu pinggir.

Di sisi itu, kata serapan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia malah cukup sering menimbulkan perbantahan—yang sebenarnya tidak perlu, menurut saya. Kata amin, menurut sebagian penutur bahasa Indonesia, mestilah ditulis aamiin. Kedua huruf vokal a dan i harus ditulis dobel sebagai isyarat dibunyikan agak panjang. Dalam bahasa Arab, tempo dapat mengubah arti. Kata aamiin berarti “ya Allah, kabulkanlah doa kami” dan amin punya arti lain, yaitu kedamaian atau ketenteraman. Adapun aamin bermakna meminta perlindungan dan amiin berarti jujur. Sekali lagi, ini (pembunyian) kata dalam bahasa Arab.

Barangkali tidak ada yang salah dengan penulisan unsur serapan ke dalam bahasa Indonesia berbeda-beda begitu. Amin atau aamiin, maghrib atau magrib, atau kosakata dari bahasa daerah, seperti mendem atau mendhem dan gelis atau geulis. Bukankah bahasa Indonesia sudah lama mengenal sebutan dengan nada sedikit mengolok-olok, “bahasa gado-gado”?

Yang tampaknya kurang disadari, bahasa Indonesia kita tidak mengenal unsur suprasegmental, dalam arti fonemis (membedakan arti). Dilafalkan dengan cara bagaimana pun, arti sebuah kata tidak akan berubah. Kata roti atau sayur yang diucapkan sangat keras dan ada bagian yang lebih panjang oleh penjaja keliling di gang-gang kampung tidak punya arti berbeda dari roti dan sayur yang sangat kita kenal itu.

Lagi pula “kaidah” bahwa huruf vokal ditulis dobel berarti dibunyikan lebih panjang sepatutnya berlaku juga untuk kata-kata lain. Tapi, segera kita tahu, hukum itu tidak bekerja pada beberapa kata, seperti manfaat, taat, saat, atau fiil misalnya. Bukannya dibunyikan lebih panjang, huruf vokal dobel di situ dalam bahasa Indonesia punya jeda di antara kedua huruf vokal.

Semua hal yang sedikit-banyak membuat kita cukup bingung itu sebagian menjelaskan apa yang sudah disinggung di atas, yaitu tentang betapa sulit menangkap bunyi bahasa dan kemudian melukiskannya ke bentuk huruf, juga dalam alfabet bahasa Indonesia.

Di sini boleh kita berpegang pada pandangan bahwa huruf, yaitu konvensi tulis yang melambangkan bunyi bahasa, bersifat lokal. Tiap bahasa punya alfabet sendiri. Karena itulah, sesuai dengan sistem ejaan kita, Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis kata serapan dari bahasa Arab tadi cukup amin. Perkara bagaimana melafalkannya, itu soal lain. Tidak pernah ada aturan tentang pelafalannya dalam bahasa Indonesia. Juga tidak pernah orang Batak dan orang Jawa bertengkar sengit tentang mana yang valid pengucapannya: benar (e taling) atau bener (kedua e pepet).

Saling

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 20 Feb 2024)

Saling fitnah, saling ledek, saling serang, saling menjatuhkan menjadi pertunjukan yang mengesan bagi rakyat kebanyakan. Pemandangan begini kita lihat tidak hanya dalam acara debat terbuka calon presiden dan calon wakil presiden di panggung nasional, tetapi juga di kalangan pendukung yang berseberangan.

Perbalahan mereka yang disebut terakhir, sampai jauh hari setelah acara debat usai, menyesaki ruang-ruang percakapan publik, terutama media sosial dan media massa. Mereka telah mempertontonkan pertunjukan saling hujat, yang sebagian besar berisikan kata-kata dan ungkapan vulgar, brutal, bengis.

Tapi juga, segera kita sadari, begitu unsur sentimen—terutama sentimen agama—dikemukakan, fanatisme pun secara tak terelakkan mengeras. Hal ini pernah kita saksikan dan alami sendiri pada kemelut Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Dan kita merasakan banyak sekali akibat jeleknya. Sampai hari ini.

Begitulah ungkapan yang merepresentasikan laku berbalasan dipakai lebih sering terutama pada sekitar masa ketika sebuah kontestasi politik di Tanah Air tengah berlangsung.

Saling. Adverbia ini menerangkan berlangsungnya sebuah perbuatan berbalasan di antara dua subyek. Kalimat A dan B saling menyenggol, artinya A menyenggol B lalu B balas menyenggol A. Kita tahu, ada beberapa cara lain untuk menyatakan hal yang kurang lebih sama, seperti senggol-menyenggol, senggol-senggolan, atau bersenggolan.

Bentuk bersenggolan dapat, tapi tidak mesti, searti dengan saling senggol. Ia menyatakan bukan saja perbuatan yang berbalasan atau berlangsung timbal balik, melainkan juga menyatakan keberlangsungan yang berulang-ulang (contoh lain: berpukulan) atau pelakunya lebih dari satu (seperti berlarian, berjatuhan).

Bahasa Indonesia punya kata lain yang kira-kira searti dengan saling, yaitu baku. Leksikal, benar keduanya punya arti serupa, tapi tidak dalam hal perilaku gramatikal.

Baku lazimnya diikuti verba berbentuk kata dasar. Jarang sekali ia diikuti verba berimbuhan, seperti baku menyenggol, baku menghantam, atau baku menembak. Sebaliknya, bentuk verba yang mengikuti saling lebih luwes: saling senggol, boleh juga saling menyenggol. Tapi, tentu berlebihan bentuk saling senggol-menyenggol.

Yang tak kurang menarik, baku tampaknya cukup sering hadir sebagai bagian dari kata majemuk yang bermuatan pengertian negatif. Banyak dari kita barangkali lebih mengingat bentuk-bentuk baku hantam, baku pukul, atau baku tembak daripada baku cinta atau baku sayang.

Tulisan ini bukan hendak mengatakan bahwa pada hari-hari ini saling cenderung mendekati baku dalam arti punya kecenderungan kuat membentuk ungkapan yang melulu berkonotasi negatif. Kecenderungan itu tentu tak lain karena ia dipergunakan di bawah iklim politik yang sedang kian memanas.

Uraian di atas mengantar kesimpulan kepada kita bahwa konotasi negatif (atau positif) sebuah kata adalah tambahan atau pengaruh dari sebuah konteks tertentu. Sebab, sesungguhnyalah tiap kata itu netral, bebas nilai.


Galau

$
0
0

Eko Endarmoko, (Tempo, 25 Feb 2024)

Kata galau kembali ramai pada musim pemilihan umum baru-baru ini. Coba tengok judul-judul berita belakangan ini, seperti “Penghitungan Suara Pemilu 2024 Masih Berlangsung, Para Caleg Mulai Galau”, “Caleg Galau Suara di Sirekap Naik Turun”, “Curhat Warganet: Galau Pilih Komeng atau Jihan Fahira”.

Kata galau memang sangat populer dalam setidaknya dua dasawarsa terakhir. Kata yang ramai dipakai kaum muda ini mewakili apa yang mereka hayati, pikirkan, dan rasakan yang, entah mengapa, seakan-akan selalu kacau. Perasaan itu akibat beragam hal, seperti cinta yang ditolak, pertengkaran dengan orang tua, atau uang saku yang makin kecil saja.

Di lingkup lebih luas, galau juga menghinggapi banyak orang dewasa yang merasa hidup mereka kian berat, seperti harga barang terus naik tapi pendapatan malah merosot. Bagi calon legislator (caleg), galau tampaknya mewakili kecemasan karena bakal tidak terpilih atau pusing memikirkan utang menumpuk atau aset yang hilang untuk modal kampanye. Atmosfer muram semacam itulah yang belakangan ini menjadi rabuk bagi kata galau untuk terus tumbuh subur dan merebak ke mana-mana.

Kamus kita pada mulanya mencatat makna galau berkaitan dengan pikiran. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002), misalnya, mencatat maknanya sebagai “kacau tidak keruan (pikiran)”. Namun belakangan ini aspek makna yang bersangkutan dengan perasaanlah yang makin kentara.

Sampai di sini, dapatlah saya ringkaskan bahwa dalam kenyataan praktik berbahasa, galau dipakai untuk melukiskan (1) pikiran kacau balau, keruh, kusut, ruwet. Pikiran itu kemudian mendatangkan (2) perasaan bingung, gundah, masygul, kecewa, dan sedih bercampur aduk. Galau tidak lagi berurusan semata dengan pikiran, melainkan berjalinan dengan perasaan.

Sudah sejak edisi pertama (1988) kamus kita merekam galau, tapi perumusannya agak kabur. Kata itu didefinisikan dalam bentuk berimbuhan bergalau sebagai “sibuk beramai-ramai; sangat ramai; kacau tidak (keruan)”. Rumusan yang kabur begitu juga takrif yang tidak kita dapati dalam kata dasar—relatif awet hingga dua edisi, edisi II (1991) dan III (2001).

Format penyajian itu tidak bisa tidak mengingatkan saya pada Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta, kamus babon yang boleh disebut menjadi batang tubuh kamus besar kita. Tapi, bagi saya, Poerwadarminta lebih terang. Ini antara lain karena ia menyertakan contoh kalimat. Kita baca selengkapnya begini: galau M bergalau: sibuk be-ramai2; sangat ramai; berkacau (tak keruan); mis. di sana-sini terdengar bisik-bisik desus ~; ~ pikiran dan pendapatnya, berkacau tak keruan; ~ anak2 di depan sekolah, be-ramai2.

Poerwadarminta memang tidak memberi definisi bentuk dasar galau. Namun, selain menyertakan contoh kalimat, yang menambah pengertian kita, ia memberi atribut M, kependekan dari Minangkabau. Keterangan ini penting tapi ditanggalkan oleh kamus besar.

Teman saya, Ramadhan Syukur dan Ismalinar Is, keduanya berdarah Minang, punya kemiripan pandangan dan pengalaman mengenai hal ini. Rupanya, bergalau diambil dari bagalau (menurut lidah Minang) yang artinya “ribut”, tapi bentuk galau itu sendiri sudah sangat jarang dipakai.

Tentu saja selalu ada ikhtiar menyempurnakan kamus besar kita. Definisi yang kabur itu sudah dibuat lebih jelas dalam kamus besar edisi IV (2008). Terakhir, dalam edisi daring (Februari 2023), kata itu didefinisikan singkat saja sebagai adjektiva: “kacau (tentang pikiran)”. Lalu disertakan juga beberapa kata turunan seperti bergalau, kegalauan, dan segalau. Walaupun begitu, aspek makna kata galau yang bertaut dengan perasaan tak kunjung kita lihat. Namun memang boleh segalau itu memikirkan makna galau dalam kamus kita?

Pelisanan E

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 14 Mei 2024)

Hotman Paris, sang pengacara, belum lama membuka usaha baru berupa tempat makan. Bisnisnya ini laris dalam tempo relatif singkat.

Entah apa yang membuatnya memikat dan menarik banyak konsumen di hari-hari pertama pembukaan—gejala yang kita lihat, misalnya, pada salah satu gerai ramennya di daerah Kuningan, Jakarta, sekitar awal Maret lalu.

Yang lebih menarik adalah pilihan nama tempat makan itu: Hotmen. Nama ini bisa dibaca dengan beberapa cara. Mungkin ada yang membacanya sebagai pelesetan dari nama depan si pemilik, atau barangkali anda menduga ada semacam muslihat di situ agar terbaca /hot mèn/ (hot, Bung).

Tidak salah juga jika ada yang menganggapnya singkatan dari Hotman ramen. Di sini rupanya perlu segera disusulkan sedikit catatan.

Konstruksi ”Hotman ramen” (mungkin secara sengaja) membalikkan hukum DM. Kita tahu, pada frasa bahasa kita, lazimnya kata utama (yang diterangkan) terletak di depan penjelas (yaitu yang menerangkan).

Dalam bahasa Inggris, kebalikannyalah yang banyak kita lihat. Beberapa contoh: anak kecil (small child), orang berumur (old people), lari pagi (morning run), pakaian daerah (regional clothing), dan jembatan bambu (bamboo bridge).

Demikianlah. Penamaan gerai makan bersuasana Jepang tadi boleh dikata cukup kreatif dan provokatif. Ia sekaligus seperti memanggil kembali kaidah pembentukan frasa dalam bahasa kita (hukum DM) ”temuan” Sutan Takdir Alisjahbana.

Betapa pun, menyebut ”ramen” (atau segala apa yang berwarna atau beraroma atau berbau Jepang), mengingatkan saya pada sahabat Jepang saya, Kyoko Funada.

Dalam sebuah kesempatan, telinga saya menangkap jelas ia membunyikan /ramèn/ (e taling), bukan /ramên/ (e pepet)—sekalipun tidak sedikit penutur bahasa Indonesia melafalkannya dengan e pepet.

Malah juga Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi VI/daring, 2023) mencatatnya begitu disertai definisi ”mi kuah khas Jepang, …”. Edisi IV (2008) belum lagi merekamnya.

Dalam bahasa kita yang punya banyak laras dan varian bahasa, pelisanan huruf e—entah pepet atau taling—tentu saja bisa sama ”kacau”-nya dengan laras bahasa tulis. Keduanya sering dengan gampang bertukar tempat. Ajaibnya, para penutur yang kacau itu tampak tidak terlampau sadar, atau tidak peduli.

Sikap begitu antara lain adalah akibat dari fakta bahwa dalam bahasa kita /ê/ dan /è/ tidak banyak membedakan arti, kecuali pada beberapa kata yang tidak banyak jumlahnya.

Peneraan diakritik dalam dua edisi terakhir KBBI amat berbeda. Edisi IV secara konsisten mencantumkan /è/, tapi tidak ada /ê/. Contoh: ada /becak/ (bercak), ada juga /bècak/. Tapi, dalam edisi daring dua kata itu dieja /bêcak/ (bercak) dan /becak/.

Saya pernah menulis, ”… rupanya fonem /e/ taling kadang tampak seperti orang linglung yang membuat kita keder.

Kêdèr terhadap keperluan memberi tanda fonemis /e/ pepet dan taling pada sistem ejaan kita, dan kèdêr mengingat pelafalan sungguh teramat sukar dibuat baku.” (Lihat lebih jauh, ”Keder”, dalam Polisi Bahasa, Penerbit Buku Kompas, 2019: 206.)

Viewing all 37 articles
Browse latest View live