Eko Endarmoko* (Kompas, 27 Jan 2018)
Moyang kita dari banyak daerah di sekujur tanah Nusantara pernah lebih suka menegur, mengkritik, memberi nasihat, atau mengajarkan adab yang baik dengan bahasa tersirat. Orang boleh berdebat, apakah kegemaran memakai bahasa tersirat di situ adalah tanda adab yang baik ataukah cermin sikap pura-pura, semacam eufemisme yang akut.
Yang kita tahu, ungkapan dengan bahasa tersirat ini rupa-rupa bentuknya: pepatah petitih, peribahasa, bidal, tamsil—yang kesemuanya berbahan pokok simbol. Jelas juga buat kita adalah perumusan ungkapan dengan cara itu memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia moyang kita yang istimewa.
Bangun atau konstruksi peribahasa boleh dibilang selalu punya rumus atau pola, diksi yang tetap tak tergantikan. ”Kura-kura” pada Kura-kura dalam perahu, misalnya, tidak bisa begitu saja ditukar dengan ”kupu-kupu” atau ”undur-undur”. Atau ”Kambing mengembik” kafilah berlalu.
Kenapa mesti ”kura-kura”, bukan yang lain? Bentuk ini rupanya sudah dipersiapkan demi menyambut kehadiran ”pura-pura” di pasase berikut yang lengkapnya sudah amat kita kenal: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Ada bentuk simetris dalam bunyi pada ”kura-kura”–”pura-pura” dan ”perahu”–”tahu”.
Pilihan atas ”kura-kura” ini rupanya bukan saja didasarkan pada pertimbangan estetika bahasa. Kupu-kupu atau undur-undur atau apa pun lainnya bisa saja berada dalam perahu. Tapi, kura-kura lebih dekat ke perahu sebab keduanya, sejauh yang kita tahu dan sejauh imajinasi kita melanglang, erat sekali pertautannya dengan perairan, sungai maupun laut.
Sedangkan ”Kambing (yang) mengembik” mengantarkan suasana biasa saja, tidak membawa pengaruh berarti pada iring-iringan orang yang berjalan di dekatnya. Tapi, ”Anjing menggonggong”, alangkah berbeda! Kafilah mestinya siaga satu, bersiap menghadapi baik suara yang cukup menggentarkan maupun sumber suara itu, anjing, yang tergolong hewan haram (jangan lupa, kafilah menyertakan pengertian-pengertian Arab dan Muslim).
Daripada mempersoalkan apakah kegemaran moyang kita memakai bahasa tersirat adalah tanda adab yang baik ataukah cermin sikap pura-pura, lebih baik saya tutup tulisan ini dengan dua catatan mengenai zaman yang berubah.
Pertama, segala bentuk peribahasa umumnya tersusun dalam bahasa Indonesia yang baik, tertib. Produksi bentuk bahasa itu yang luar biasa banyaknya di Nusantara pada zaman moyang kita menunjukkan kepiawaian mereka mengolah bahasa. Artinya, tradisi sastra masa itu hidup subur dan terawat. Kedua, mengkritik secara terbuka dan frontal dalam budaya masyarakat lama umumnya sedapat mungkin dihindari. Pilihan pada tuturan tidak langsung dengan bahasa tersirat adalah semacam siasat menjaga hubungan sosial.
Dewasa ini sudah rada sulit kita menjumpai berbagai bentuk ungkapan dengan bahasa figuratif, baik dari khazanah lama maupun kontemporer. Dan berbarengan itu, bahasa kasar penuh sumpah seranah semakin memenuhi ruang-ruang percakapan kita.
*Munsyi, Penyusun “Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia”