

Eko Endarmoko*, KOMPAS, 2 Mei 2015
Ajakan ”Yuk, kita tidur” yang diucapkan orang tua, bapak atau ibu, kepada anaknya yang masih kecil hampir pasti akan ditafsir lain jika orang tua itu mengatakannya kepada pasangan dia. Kata tidur dalam konteks kedua kita lihat telah menyerobot porsi kata berhubungan intim atau bersetubuh. Inilah aksi pembajakan yang dilegalkan dalam bahasa, antara lain karena perlu demi menyelamatkan muka dari malu. Sangat jarang orang menyatakan hasrat seksualnya secara telanjang—kepada pasangan hidup resminya sekalipun, apalagi bila hadir pihak ketiga, di tengah percakapan. Bahasa untuk mengungkapkan hasrat seksual lebih sering terselubung, dengan kata bersayap, seakan-akan bila lugas tanpa tedeng aling-aling, sebuah truk barang bakal tiba-tiba menumbuk si penutur dari muka tanpa ampun.
Orang boleh berspekulasi tentang apakah yang menumbuhkan kesantunan atau kepura-puraan atau kemunafikan itu. Bahasa yang telanjang, polos, untuk hajat yang satu ini dipandang vulgar. Berbeda adalah bahasa kiasan, yaitu cara lain menyatakan sesuatu (tidur, dan bukan bersetubuh), seperti pemakaian metafora atau alusi yang mudah kedapatan dalam karya sastra.
Seperti indungnya, bahasa, kiasan terbentuk dari kesepakatan di kalangan penuturnya.
Kesepakatan itu melibatkan proses tawar-menawar tiada henti yang menunjukkan betapa bahasa menyimpan sifat getas, ringkih. Persis seperti disuratkan oleh sebutannya: kata bersayap. Sayap di situ adalah atribut belaka, sesuatu yang ditambahkan. Ia mudah patah. Pernah ada satu masa ketika banyak orang gemar memakai kata bulan untuk melukis cantik perempuan. Namun, kini, tak perlulah linguistik statistik untuk mengatakan bahwa bunga diam-diam telah menyerobot peran kata bulan untuk keperluan yang sama, barangkali sejak Neil Armstrong membawa oleh-oleh gambar permukaan bulan sepulang dari sana pada 1969.
Akan tetapi, ada pula sayap kata yang relatif tak mudah patah. Tikus, yang dimaksud di sini tentu saja tikus got (Rattus norvegicus), untuk menyebut koruptor barangkali kurang jitu ditilik dari skala yang mereka ambil dengan cara mengerikiti (tikus) atau menggerogoti (koruptor): seujung kuku cuwilan keju berbanding uang pecahan besar berkarung-karung. Bahwa sampai hari ini orang banyak masih saja menggandrungi metafora tikus tentulah itu bukan tanpa penjelasan. Perumpamaan selalu menyandingkan dua hal berdasar asas kesamaan, tetapi tak mesti sama seratus persen. Tikus tidak saja menyebalkan karena suka mencuri, tetapi juga menjijikkan, bikin mual, karena amat mesum, jorok, dan berbau busuk—sebuah metafora yang legit (tentang binatang jahanam yang majenun ini, tengok tulisan Samsudin Berlian, ”Korupsi”, Kompas edisi 25 April 2015).
Kata tidur yang menyelubungi bersetubuh di awal tulisan tadi relatif awet, lebih lekap memeluk makna kiasannya. Tidur dan bersetubuh sama-sama berangkat dari asumsi bahwa kedua kata kerja ini menunjuk pada posisi tubuh berbaring. Selebihnya, bagaimana kata yang merujuk pada perginya kesadaran ke alam mimpi bisa mengantarkan asosiasi ke aktivitas penuh keringat dan berahi ialah perkara imajinasi yang doyan dolan ke mana-mana. Manipulasi pemaknaan ini saya kira lebih dari sekadar taktik menyelamatkan muka dari malu. Bukan melulu berurusan dengan kesantunan atau kepura-puraan atau kemunafikan.
Tadi saya singgung, bahwa bahasa yang telanjang, polos, apa adanya, untuk hajat yang satu itu dipandang vulgar, tak senonoh. Di sini, sesuatu yang dianggap kasar atau tidak patut disembunyikan, dijinakkan, dengan kata bersayap. Yang menarik, kata bersayap pada saat yang sama sanggup membuat lebih galak kata yang polos, bukan menyembunyikan atau menjinakkannya. Bukan menyelamatkan muka dari malu, tetapi malah mencelemotinya kuat-kuat.
Contoh? Ya, tikus got itu tadi. Tikus yang tak mati-mati.
* Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 6 Jun 2015
Jangan heran bila kata heran bikin heran. Saya heran ketika jumpa lagi dengan kata ini waktu membaca ulang Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) selagi mengerjakan perbaikan terhadapnya untuk edisi revisi yang kini sudah dekat selesai. Heran, sebab di sana ia tercatat berkerabat dengan ajaib dan aneh. Sambil memanggul heran, saya periksa kembali beberapa kamus bahasa Indonesia, rujukan saya dalam menyusun TBI edisi pertama. Hasilnya? Tentu saja mudah diterka. Semua kamus bahasa Indonesia pada saya menyuratkan, heran punya arti atau bersinonim dengan ajaib dan aneh.
Yang tak begitu bikin bingung, pada detik perjumpaan kembali tadi serta-merta saya menganggap penyandingan heran dengan ajaib dan aneh ganjil. Apalagi kemudian saya dapati fakta rada berbeda setelah memeriksa lebih jauh ke data, korpus dari laras bahasa jurnalistik, yaitu empat media dalam jaringan (daring, online)—Kompas, Pikiran Rakyat, Tempo, dan Waspada—dan satu korpus laras bahasa sastra (goenawanmohamad.com), secara sekilas dan cepat. Pada kata heran dalam semua korpus itu tidak kita jumpai pengertian-pengertian ajaib dan aneh. Sejauh yang saya tangkap, heran yang bertaburan di sana lebih dekat ke bingung atau takjub. Itulah maka kini saya berani berkata, kedua kata ganjil itu adalah pangkal yang memunculkan heran, bukan heran itu sendiri. Heran saya yang sesungguhnya adalah kenapa kedua kata ganjil tadi bisa dengan gagah berani menyelundup ke dalam rumah heran di edisi pertama TBI.
Begitulah. Baru saja kita melihat, makna dalam kamus tidak selalu akur atau sama sebangun dengan makna sebagaimana ia memancar dari sebuah konteks dalam pemakaiannya oleh pengguna bahasa.
Tak jarang dikatakan perselisihan keduanya kekal sebab bahasa selalu berkembang, makna selalu bergeser, padahal kesanggupan kamus merekam dinamika bahasa berhenti pada menit saat ia mesti terbit. Sementara itu, manusia terus-menerus mengeksploitasi bahasa demi banyak sekali keperluan.
Saya pikir senjang atau selisih itu tidak selalu berhubungan dengan soal perbedaan watak antara kamus yang statis dan bahasa yang dinamis (tentang ini tengok tulisan saya, ”Pesona Bicara Canggih”, Kompas edisi 10 Januari 2015). Semacam pengakuan kamus kita bahwa ajaib dan aneh bersaudara dengan heran, dan diingkari oleh bahasa yang hidup, sama sekali tak ada urusannya dengan pergeseran makna (yang belum sempat terekam kamus). Atau contoh lain, kamus kita cenderung tidak mencatat ngedumel dan ngelunjak.
Baiklah. Namun, kenapa dua kata ganjil ajaib dan aneh bisa dengan gagah berani nangkring dalam rumah heran di edisi pertama TBI? Izinkanlah saya sekarang menengok ke belakang barang sebentar.
Saya kira, saya sudah sedikit terkecoh oleh contoh dalam kamus. Poerwadarminta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keempat, 1965): ”Tidak heran kalau dia marah”. Atau ini: ”Heran, dng gaji sekecil itu, orang itu masih bisa hidup di kota besar” (KBBI, edisi keempat, 2008). Kita baca dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu dan Zain, 1994): ”Heran bahwa dia tidak mati dl kecelakaan yang hebat itu”. Dua dari beberapa teman yang saya mintai bantuan dalam kerja merevisi punya pendapat menarik setelah saya sodori contoh serupa tapi tak sama, ”Heran, jelek tapi sombong.”
Yanwardi Natadipura, penulis masalah kebahasaan yang luas dan tajam wawasan linguistiknya, malah balik mengirim tanda tanya retoris buat saya. ”Yang heran kan penutur, ya, bukan obyek yang jelek.” Pikiran senada yang sedikit lebih terurai saya dapat dari Uu Suhardi, koordinator redaktur bahasa di majalah Tempo dan redaktur bahasa Koran Tempo, majalah Matra, U-Mag. ”Gampangnya begini: saya heran kan beda dg saya aneh.” Lalu ia tambahkan, ”Itu (contoh dari saya di atas) kan ada yg lesap (bahasa lisan). Lengkapnya: Saya heran, dia jelek tapi sombong.” Demikian korespondensi mereka dengan saya lewat sandek—salah satu media kami bertukar pikiran dalam bekerja.
Jadi, jangan heran bila ajaib dan aneh tersisih dari lema heran dalam TBI edisi revisi nanti.
* Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 4 Jul 2015
Dokumentasi dan klasifikasi adalah dua kata serapan yang berkerabat, sekalipun rada jauh. Mari kita sama berangkat dari pengertian yang dirumus kamus.
dokumentasi /dokuméntasi/ n 1 pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dl bidang pengetahuan; 2 pemberian atau pengumpulan bukti dan keterangan (spt gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan referensi lain)
klasifikasi n penyusunan bersistem dl kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yg ditetapkan
Lihatlah, di dalam keduanya kita temukan proses, sebuah kerja yang sedang berlangsung. Perbuatan mendokumentasi itu berawal dari mengumpulkan, berakhir dengan menyimpan. Persis di tengah aktivitas itu, ada tahap kerja lain, mengklasifikasi, yaitu menata, menyusun, memilah, menggolong-golongkan berdasarkan kategori tertentu.
Lihat jugalah, unsur-unsur pengumpulan, pemilihan, pengolahan, penyimpanan dalam dokumentasi, serta penyusunan dalam klasifikasi sangat kuat menegaskan kehadiran proses di sana. Maka, saya berpikir keberadaan kata turunan keduanya, pendokumentasian dan pengklasifikasian, patut kita persoalkan. Kita dapat menyebutnya tautologis alias lewah alias tidak perlu ada—bukan karena kelas kata, tapi karena kandungan makna kata turunan itu dan kata dasarnya sama belaka. Eko Y.A. Fangohoy, teman sesama editor dulu di penerbit Pustaka Utama Grafiti di akhir tahun 1990-an, mengingatkan saya, ada satu contoh lain: pendistribusian.
Izinkan sekarang saya kutipkan contoh dari data berupa korpus ragam bahasa jurnalistik beberapa media daring (cetak miring dari saya):
Pengklasifikasian itu harus dirumuskan dulu, lalu disimulasikan berapa penghematan subsidinya dengan berbagai skenario. (“Subsidi BBM akan Dibatasi“, KOMPAS, 13 Mar 2010)
Pengklasifikasian upah minimum kab./kota (UMK) bagi usaha skala kecil perlu diusahakan oleh pemerintah. (“Perlu Ada UMK Berdasarkan Jenis Skala Usaha“, Pikiran Rakyat, 22 Nov 2012)
Coba kita gantilah pengklasifikasian dalam contoh di atas dengan klasifikasi, seperti kita mengganti pendokumentasian dalam contoh di bawah dengan dokumentasi:
Setiap hari, mereka melakukan kegiatan eksplorasi mulai dari pembersihan lahan, pemetaan, penggalian, penggambaran, dan pendokumentasian bentuk candi. (“Candi Kethek di Gunung Lawu Mulai Digali“, Tempo Interaktif, 11 Sep 2005)
Di sisi lain, pendistribusian dalam contoh di bawah pun sama sekali tak berpengaruh apa-apa manakala kita ganti dengan distribusi.
Sementara [p]endistribusian soal UN di Kota Tasikmalaya tetap dijaga ketat oleh kepolisian dan Dinas Pendidikan (“Polisi Jaga Ketat Pendistribusian Soal“, Pikiran Rakyat, 3 Mei 2015)
Hingga kini Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan masih menunggu pengesahan rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang pendistribusian gas elpiji 3 Kilogram. (“Perda Pendistribusian Elpiji 3 Kg Segera Berlaku“, Waspada, 21 Apr 2015)
Mengapa kata-kata bentukan itu bisa muncul, padahal konsep atau pengertian yang dimaksud sudah cukup terwakili oleh bentuk dasarnya? Menurut seorang teman yang lain, Yanwardi Natadipura, itulah yang terjadi pada kata serapan.
Pada tataran semantik selalu ada risiko nuansa atau komponen makna tertentu dalam makna kata asal tak ikut terserap. Atau jadi rada bengkok. Dan pada tataran morfologi, dunia penutur bahasa Indonesia pun meresap ke dalamnya.
Bahasa kita menyerap sex, tapi kemudian meluaskannya dengan ngeseks. Atau object yang bisa saja punya turunan ngobyek (bukan ngobjek).
* Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 1 Agu 2015
Perbincangan berikut bermaksud kembali membicarakan tentang kata tentang setelah Masmimar Mangiang, pemerhati bahasa Indonesia yang telaten dan jernih, menulis soal yang sama dalam catatannya (berjudul “Tentang ‘Tentang'”) di media sosial fesbuk, 26 Juli 2015. Perlulah saya utarakan di awal sini, barangsiapa tidak melihat masalah dalam kalimat pertama tulisan ini, saya kira ia belum, dan karenanya sangat perlu, membaca tulisan Masmimar tadi. Tampaknya baik saya ringkaskan lebih dulu pandangan Masmimar tersebut dan baru kemudian merentangkannya ke medan yang sedikit lebih lebar.
Masalah kebahasaan di kalimat awal-yang bersinggungan dengan tulisan Masmimar-itu terletak pada frasa “membicarakan tentang”. Boleh kita duga, orang yang rasa atau kepekaan bahasanya tipis tidak melihat ada persoalan di sana. Seperti dia yang kurang menyadari adanya jarak yang sangat jauh antara tentang yang punya arti (1) perihal, mengenai dan yang bermakna (2) lawan, tolak. Maka mestinya ada dua, bukan hanya satu, kata tentang. Soal ini nanti kita bincangkan lagi. Atau kurang peka menangkap beda miskin, melarat, kere dari duafa, fakir. Terasakah oleh anda nada rada kasar dan merendahkan kelompok kata bersinonim yang pertama? Kelompok yang kedua, kita mafhum, lebih sejuk sebab memberi perhatian, simpati.
Akan tetapi, kembali ke perbincangan kita, saya setuju dengan pendapat jitu Masmimar: “‘Membicarakan’ adalah kata kerja transitif, kata kerja yang selalu diikuti objek, dan di antara kata kerja transitif dengan objek itu tidak diperlukan preposisi (seperti ‘tentang’).” Senada dengan ini adalah konstruksi “membahas tentang”.
Bagaimana bisa tentang menyerobot masuk ke wilayah “terlarang” itu? Saya pikir di situ ada pengaruh atau interferensi dari cara ungkap berbeda untuk maksud yang sama. Lihatlah dua pasang konstruksi ini:
membicarakan (tentang) kata tentang – pembicaraan tentang kata tentang
membahas (tentang) kata tentang – pembahasan tentang kata tentang
Hadirnya tentang yang mubazir di antara kata kerja transitif dan obyek tadi, saya kira, akibat terjadinya semacam korsleting di otak. Asosiasi, pikiran, atau ingatan si penutur tanpa sadar menaut pada bentuk “pembicaraan tentang” dan “pembahasan tentang”. Di tengah proses merumuskan ide, antara lain memilih kata yang tepat dan mereka kalimat dengan awal “membicarakan” yang pas, secara mendadak pikiran membelok, tergiring ke semacam pola pengalimatan yang sudah tercetak di dalam kepala. Prosesnya kira-kira serupa roda kereta api yang berjalan di atas simpangan rel, berkelok mendadak menyimpangi arah semula.
Melihat kata tentang lebih dekat lagi, bakal kita jumpai satu soal yang lain. Dalam banyak konteks, tadi saya sudah menyinggungnya sambil lalu, tentang sedikitnya punya dua kelas kata dengan dua arti. Sebagai partikel ia punya arti perihal, mengenai, dan sebagai verba tentang berarti lawan, tolak. Yang menarik, bila mendapat imbuhan, keretakan makna menjadi tampak kentara. Menentang, yang semakna dengan melawan, membandel, membangkang, memberontak, memerangi, memprotes, mendurhaka, sama sekali tak lagi punya pertalian makna dengan tentang dalam arti perihal, mengenai. Di sini tentang dan menentang sudah saling menjauhi, sama-sama minta cerai. Juga menarik adalah, kata mengenai sebagai partikel searti dengan tentang, sementara sebagai verba ia punya makna kena, mengantuk, menyenggol, menyentuh, menyinggung, menyerempet.
Berbeda secara mendasar dengan tentang (partikel) dan derivatnya, menentang (verba), yang artinya jadi sangat berjauhan, mengenai (partikel) dan kena (verba) masih punya hubungan darah yang rapat, berada di medan makna yang sama. Maka berbeda dari Tesaurus Bahasa Indonesia edisi I dan kamus bahasa Indonesia, dalam Tesamoko (Tesaurus Bahasa Indonesia edisi revisi-sudah di meja penerbit sejak Juni lalu) saya tak lagi menempatkan beberapa gugus kata yang berkerabat dengan tentang sebagai polisemi, melainkan memilahnya ke dua kata tentang sebagai homonimi.
* Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 5 Sep 2015
Tidak pernah ada dalam sejarah, sebuah kamus dapat selesai paripurna dalam sekali pengerjaan. Kamus selamanya berkejaran dengan bahasa yang dinamis. Kata sebagai bahan bakunya hampir niscaya bukan saja terus bertambah, tetapi juga berubah, baik dari segi bentuk maupun isi atau makna. Begitulah yang selalu kita saksikan. Sementara kata terus bergerak, terkadang dengan ringan dan gesit dalam konteks berbeda-beda, kamus yang berpretensi merekam kesemua itu mesti berhenti pada menit ia siap terbit.
Asumsi-asumsi itulah yang ada di balik penyusunan Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) yang dengan itu berusaha tetap berpegang pada asas ramah pengguna. Kata yang menjadi lema di sana tak jarang adalah kata sebagaimana ia hidup, lisan maupun tertulis, bukan melulu sebagaimana ia mesti diperlakukan menurut norma yang dijunjung bersama. Tepat di titik ini TBI sadar berada persis di tengah tegangan atau tarik-menarik yang niscaya antara kaidah dan praktik berbahasa, antara hukum dan kenyataan hidup. Ini menjelaskan mengapa TBI memilih kucel, bukan kucal, lempeng, bukan lempang. Dan nalar ini jugalah yang mendorong Tesamoko, TBI edisi revisi, membalikkan kumal ke kumel dan dari sundal ke sundel. Lain dari itu, Tesamoko menambahkan sejumlah kata lain, baru, yang kental watak lisannya, seperti ciamik, gaul, ngedumel, dan ngelunjak.
Bersama TBI, Tesamoko—sembari memperbaiki banyak hal pada TBI, seperti menambahkan antonim, menertibkan korespondensi, yaitu memenuhi prinsip resiprokal (bila memprediksi tercatat bersinonim antara lain dengan membaca, maka di sublema membaca, memprediksi mestilah tercatat pula sebagai bagian dari sinonimnya), atau mengoreksi salah tik—sedapatnya berusaha memotret evolusi makna kata dalam bahasa Indonesia. Mungkin salah tik ini soal kecil. Ranah tercetak dalam TBI sebagai salah satu sinonim dari kata senyap dan sepi. Ini tentu saja sumbang yang fatal sebab mestinya ranap. Sekadar ilustrasi betapa edisi pertama rada sembrono, tetapi toh dicomot begitu saja secara brutal oleh tesaurus lain dalam bahasa Indonesia yang pernah ada.
Anton M Moeliono sewaktu mengenalkan kembali kata canggih sekian tahun silam, misalnya, saya pikir punya maksud memadankannya dengan, atau menjadikannya sebagai pengganti, satu kata dari bahasa Inggris, sophisticated. Sayangnya, kata yang sangat populer hingga kini itu tidak mendapat perlakuan semestinya dari kamus resmi bahasa Indonesia. KBBI edisi terakhir (IV, 2008) masih menyalin utuh pemerian edisi sebelumnya (III, 2001), yaitu dengan menaruh pengertian-pengertian sophisticated tidak di urutan pertama. Sementara dalam Tesamoko, sedikit memperbaiki TBI, saya menawarkan urut-urutan polisemi berbeda, kira-kira lebih mendekati pemikiran sekaligus lebih meladeni apa yang (saya kira) dimaui Anton Moeliono tadi seperti ini:
canggih a sin
1 a berbelit-belit, elusif, kompleks, pelik, rumit, terik (ki) b Tek tinggi
2 banyak/ringan mulut, bawel, beleter, belu-belai, calak, celomes, celopar (ark), cerewet, ceriwis, gelatak, menyenyeh, nyinyir, rewel
3 iseng, jail (cak), panjang lidah, resek (cak), usil
ant a biasa b Tek sederhana
Tesamoko pun memutus pertalian makna ajaib dan aneh dengan kata heran, serta menanggalkan ambisi, aspirasi, dorongan, hasrat, keinginan, kemauan dari gugus sinonim pretensi. (Lebih jauh lihat ”Pesona Bicara Canggih”, Kompas, 10 Januari 2015, dan ”Heran”, Kompas, 6 Juni 2015). Dengan ini mudah- mudahan menjadi lebih terang maksud klausa ”menangkap dan memerikan evolusi makna kata dalam bahasa Indonesia” tadi.
Akhirnya, tak ada maksud Tesamoko menafikan kaidah. Kata bentukan penglihatan, misalnya, diperbaiki menjadi pelihatan demi sesuai dengan aturan ejaan bahasa Indonesia. Dalam kalimat pendek, Tesamoko membarui dirinya bukan semata-mata dengan ambisi menjadi lengkap, menjejalkan sebanyak mungkin kata ”baru” (tiada yang baru di bawah matahari). Itu sebabnya, tak pernah ada dalam sejarah sebuah kamus dapat selesai paripurna dalam sekali pengerjaan.
* Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 3 Okt 2010
Infografik aturan kewajiban berbahasa Indonesia dalam status fesbuk Ivan Lanin, 23 September 2015 pukul 7:28, menggoda saya memberi judul tulisan ini begitu. Frasa yang jadi judul sebuah lagu Benyamin Sueb yang rada kocak.
Ada empat kutipan pendek—satu kalimat saja—di sana. Kutipan pertama diambil dari Undang-Undang Kebahasaan, Pasal 33 Ayat 1 ”Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta”. Inilah tiga kutipan berikutnya, (a) ”Bahasa Indonesia adalah sarana komunikasi nasional”—PP No 57/2014, (b) ”Tenaga kerja asing harus bisa berbahasa Indonesia”—Pasal 26 Ayat 1 Permenaker No 12/2013, dan (c) ”WNA yang akan menjadi WNI harus bisa berbahasa Indonesia”—Pasal 20 Ayat 1 PP No 57/2014.
Kemudian kita tahu, lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 Tahun 2015 yang terbit Juni, pemerintah menghapus syarat penguasaan bahasa Indonesia. Kita baca di sebuah media daring, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri berdalih begini, ”Kalau bahasa Indonesia ditempatkan sebagai syarat masuk menjadi TKA, ini yang menimbulkan keluhan dari para investor kita dan membuat iklim investasi kita tidak cukup kondusif.”
Di bulan peringatan 87 tahun Sumpah Pemuda tahun ini, pesan di dalam infografik tadi saya pikir patut kita tengok kembali. Cara penyajiannya saja bagi saya sudah asyik sebab ukuran huruf dan tata letaknya jelas dikerjakan dengan pertimbangan tertentu. Tampak bukan tanpa alasan kutipan pertama terletak paling atas dan punya ukuran huruf sedikit lebih besar dari lainnya. Lalu, seperti disesuaikan dengan derajat kekuatannya sebagai hukum, tiga kutipan lainnya, berukuran huruf lebih kecil, diambil dari peraturan pemerintah. Ilustrasinya pun asyik. Dan tampak menonjol adalah gambar dua bendera, bendera Indonesia dan bendera Kerajaan Inggris. Keduanya terletak agak di sudut kiri atas, Sang Merah Putih di belakang Union Jack apabila kita lihat dari pergerakan mata di dalam kebiasaan kita membaca aksara Latin.
Penataan letak gambar kedua bendera dua negara dengan cara itu menyiratkan mana yang lebih penting, lebih utama. Seperti ingin mengatakan, betapa di bumi bernama Indonesia, lebih berdaulat adalah bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Ukuran huruf yang berbeda menyiratkan perbedaan kekuatan sumber kutipan (undang-undang lebih kuat, lebih tinggi, daripada peraturan pemerintah).
Dalih Menteri Tenaga Kerja menderegulasi aturan kewajiban tenaga kerja asing menguasai bahasa Indonesia bukan saja bertentangan dengan peraturan di atasnya, UU Kebahasaan seperti tertuang dalam UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, tetapi juga jelas sekali memandang bahasa Indonesia bukanlah apa-apa dibandingkan bidang ekonomi. Sangat masuk akal, apalagi di tengah situasi perekonomian kita hari-hari ini.
Terdengar atau tidak, dari kalangan pemerhati dan pencinta bahasa Indonesia berkumandang pertanyaan lama: Apakah bahasa Indonesia bagi kita?
Saya bukanlah penyokong UU Bahasa sebab bagi saya ”bukan undang-undang kebahasaan yang kita perlukan, melainkan cara dan adab yang lebih elok di dalam memelihara dan menyuburkan baik bahasa Indonesia maupun bahasa ibu (lihat ”Sengkarut Undang-Undang Bahasa” dalam Tempo, 26 Maret 2007).
Mungkin tak kurang asyik apabila menutup tulisan ini, saya mengulang pertanyaan sembilan tahun silam. ”… apakah pergeseran cara memandang masalah kebahasaan dari zaman Sumpah Pemuda ke zaman kita sekarang ini dapat kita lihat mencerminkan perubahan semangat zaman serta minat dan isi kepala para pemimpin bangsa” (”Bahasa Kebangsaan”, dalam Tempo, 15 Oktober 2006).
Yang sudah terang lewat uraian di atas, pemerintah tidak, atau belum, berhasil meyakinkan bahwa ia punya kemauan politik dalam soal bahasa kebangsaan kita.
* Munsyi, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, KOMPAS, 7 Nov 2015
Ilustrasi: Agung Zetiadji
Tidak ada yang istimewa benar pada bahasa Indonesia kita dibandingkan dengan bahasa umumnya di mana-mana pun. Bahasa Indonesia adalah cara orang Indonesia terhubung satu sama lain. Antara mereka yang bersekolah tinggi dan yang buta huruf, antara si kaya dan si melarat, antara lelaki dan perempuan, antara kaum Muslim dan mereka yang punya agama berbeda, antara pejabat dan rakyat, antara orang Lamongan dari tanah Jawa dan Patipi dari bumi Papua, antara penegak hukum dan para durjana. Bahasa Indonesia dipakai bukan hanya oleh mereka yang berasal dari golongan, kelamin, derajat, agama, dan ras yang sama. Dan ”Indonesia” dalam frasa ”bahasa Indonesia” jelas menjadi pewatas kita sebagai (sesama) bangsa Indonesia yang bertutur dalam bahasa Indonesia, entah sebagai bahasa ibu atau bahasa kedua.
Bahasa Indonesia yang kita pakai itulah alasan pertama masing-masing dari kita bisa menyebut diri sebagai orang Indonesia. Namun, tidak bisa dengan gampang kita bilang bahwa bahasa gado-gado dalam pertuturan dengan bahasa Indonesia yang bercampur dengan sejumlah kata dari bahasa asing dan daerah tidak dapat disebut sebagai bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Definisi ”bahasa Indonesia” saya pikir bukan pertama-tama berangkat dari kemestian bahwa ia dibangun dari kata asli Indonesia. Tidak saja karena batasan ”asli” itu goyah, tetapi karena bahasa punya fungsi melampaui sekadar perkakas atau cara kita berkomunikasi.
Celakanya, tuntutan berbahasa yang baik dan benar tidak jarang melupakan sifat kaidah di dalamnya.
Lupa bahwa kaidah, tentu saja termasuk kaidah di dalam bahasa, tidak lain dari norma atau etiket yang disusun berdasarkan kesepakatan orang-orang pemilik norma itu.
Norma, kita tahu, bukanlah hukum positif buatan penguasa yang punya kekuatan memaksa. Tidak pernah kita jumpai ahli bahasa memukuli (atau petugas hukum memenjarakan) mereka yang ngawur bahasanya—sekalipun kita punya undang-undang kebahasaan yang sudah disahkan pada 2009 silam. Ini kira-kira sama mustahil atau absurdnya dengan tuan rumah melaporkan tamu dia kepada polisi sebab si tamu hanya mengenakan kaos singlet dan bersandal jepit.
Etiket tak punya urusan dengan perkara benar atau salah. Di mana salah orang yang makan tidak di meja makan dan tidak dengan perkakas, seperti sendok, garpu, atau pisau, tetapi di lantai dan dengan tangan telanjang? Yang kita jumpai dalam norma atau etiket adalah soal kepantasan, kepatutan yang terbentuk dari kebiasaan segolongan orang.
Berpegang pada ungkapan: ”Bahasamu kastamu”, sederhana saja sebenarnya yang ingin saya katakan. Orang puritan di dalam bahasa gampang menerbitkan sebal.
* Munsyi, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko*, Kompas, 7 Mei 2016
Lewat pembacaan acak atas respons pembaca edisi pertama, saya bisa menduga ada sebagian dari mereka, pemakai kamus dan tesaurus, yang menurut saya rada teledor, yaitu tidak membaca teks-teks pengantar. Padahal, kita tahu, di sanalah penyusun mempertanggungjawabkan apa-apa yang ia pikir dan kerjakan dengan kamus atau tesaurusnya. Izinkanlah saya di sini sedikit menerangkan soal itu, tentu saja dalam hubungannya dengan Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua.
Sudah sejak edisi pertama saya bekerja bukan dengan terutama bersandar pada teori (leksikografi), melainkan pada kebutuhan pengguna yang saya bayangkan. Dalam bayangan saya, pengguna itu adalah mereka yang, seperti saya, berkecimpung di dunia tulis-menulis dalam bahasa Indonesia. Sering menjadi persoalan buat penulis adalah mendapatkan kata atau ungkapan yang tepat untuk melukiskan konsep atau pengertian tertentu. Kita melihat di situ, kata adalah jantung tulisan, wakil yang membopong ide-ide penulis.
Sebanyak 29.866 lema dan sublema dalam Tesamoko, 4.106 di antaranya tambahan/baru, adalah senarai kata yang saya himpun dan susun berdasarkan hubungan makna antara satu dan lainnya. Dalam Tesamoko hubungan makna itu tampak dalam wujud sinonim (padanan makna), antonim (lawan makna), hipernim (kata umum), dan hiponim (kata khusus). Dengan penyajian seperti ini, saya berharap dapat memberi peluang seluas-luasnya kepada pemakai mendapatkan kata paling cocok yang ia perlukan. Bukan saja lewat senarai sinonim-antonim serta hipernim-hiponim, melainkan terutama berkat nuansa makna sehalus-halusnya yang coba saya rekam. Contoh:
usang a sin
1 a arkais, kedaluwarsa, lawas (Jw), obsolet, tua, uzur b kolot, konservatif, konvensional, kuna, lama, tradisional
2 a aus, bapet, bejat, buruk, busuk, butut, lapuk, lotak, lusuh, puih, rebeh (Jk), reput, reyot, rombeng, rongsok b rusak
Lihatlah. Ada dua arti ”usang”, dan masing-masing masih dapat diperbedakan antara gugus (a) dan (b). Di titik inilah saya kira perlu kamus dipakai sebagai pendamping sebab Tesamoko, seperti tesaurus lain pada galibnya, tidak memberi takrif, definisi, sebagaimana kamus. Saya bayangkan, penulis/pemakai Tesamoko sedari mula bukan ingin tahu, dan tidak terlampau peduli, kata apakah yang paling dekat pertalian maknanya dengan suatu lema. Ia lebih berhasrat mendapat satu kata paling cocok dan sesuai dengan keperluannya, entah berdasar pertimbangan makna entah bentuk/pembunyian. Dan pilihannya itu sudah tentu sangatlah subyektif. Tesamoko tidak mendesak-desakkan sebuah kata tertentu supaya dipilih. Ia hanya menyajikan serencengan kata yang saling bertalian makna di bawah satu kata yang menjadi lema dan, dengan begitu, memberi kebebasan kepada pemakai memilih kata yang ia perlukan. Tepat atau tidaknya pilihan si pemakai bukan jadi urusan Tesamoko sebab sudah jelas bahwa perbuatan memilih itu mestilah dibarengi dengan mengerti.
Di luar soal-soal yang berpaut dengan dunia semantik dan leksikologi, perbaikan terhadap tesaurus ini pun menjangkau sekian persoalan lain pada tataran morfologi. Tesamoko tetap memilih cara menulis ”subyek” dan ”obyek”, bukan ”subjek” dan ”objek” sebab kedua bentuk ini menuruti pola yang sudah sangat kita kenal: ”proyek” dan ”trayek”, bukan ”projek dan ”trajek”. Saya pikir dua bentuk yang pertama lebih kuat menunjukkan sifat sebagai bentuk beku. Edisi revisi ini juga memilih cara menulis ”pelihatan”, bukan ”penglihatan”, sebab kaidah morfofonemik bahasa Indonesia tidak mengenal penambahan /ng/ dalam pengimbuhan pe-an pada kata dasar berhuruf awal /l/. Ini sepola dengan ”pelarian”, ”peluluhan” atau ”pelipatan”, bukan ”penglarian”, ”pengluluhan” atau ”penglipatan”.
Begitulah. Dengan sedikit hal sederhana yang saya perkatakan di atas, judul Tesamoko yang saya pilih pada edisi kedua ini boleh dikata merupakan penegasan akan dua hal: pertama, keunikan: Tesamoko adalah tesaurus ala Moko—bukan tesaurus anu, anu, dan anu; dan kedua, sebuah sikap atau pendirian.
* Munsyi, Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua
Eko Endarmoko* (Majalah Tempo, 28 Nov 2016)
Pernah sekali waktu akal sehat Anda terusik oleh klausa “mencemarkan nama baik”?
Saya pernah, apalagi dalam beberapa tahun belakangan. Omong-omong soal cemar, akan sampailah kita nanti pada satu titik saat kita agak gelagapan, tidak tahu lagi apa ini soal logika-dan-tata bahasa atau perkara tata susila, moralitas. Saya mulai saja dari aspek sintaksis dan semantika, mengingat ruang ini adalah kolom bahasa, bukan forum tempat membincangkan budi pekerti apalagi agama.
Cemar, bahasa, moralitas. Tiap kata punya kodrat sendiri dan punya makna unik. Seperti sidik jari manusia yang tak memiliki kembar sempurna, tak ada dua kata atau lebih yang persis sama. Kodrat kata cemar menjadi wadah tempat menampung segala hal yang berkenaan dengan najis, kurang-lebih setara dengan kotor, mesum. Dan sifat-sifat itu dalam cemar tidak hanya bertaut dengan barang, benda-benda (dekil, kotor, kumuh, mesum, atau butek, keruh), tapi bisa juga menunjuk ke lisan, perkataan (cabul, carut), juga perbuatan (dursila, jangak) atau malah ke akhlak: tunamoral. Raden Anudiningrat mengusir anak perempuannya yang bunting sebelum nikah karena ia anggap telah mencemarkan nama baik darah biru wangsanya.
Turunan dari kata itu, mencemarkan, berarti menjadikan cemar (segala apa yang sebelumnya tidak atau belum tercemar). Penutur bahasa Indonesia tidak memerlukan nalar yang canggih demi memahami pernyataan selugas itu. Tidak bisa, atau paling tidak janggal, apabila mencemarkan kita kenakan pada sesuatu yang sudah kotor. Itu boleh kita namai menentang kodrat, menghina akal sehat, pamer kedunguan—secara penuh, paripurna. Mencemarkan sesuatu yang sudah kotor tak bisa lain berarti membuat sesuatu jadi lebih kotor.
Orang, atau bisa juga lembaga, lancung yang gerah dan tak terima dituding-tuding, sebut saja P (penjahat), lalu berbalik menuntut penuding, kita namai dia M (yang mencemarkan), dengan dalih pencemaran nama baik, kadang bagi saya menggelikan (dalam arti baik lucu maupun bikin jijik). Bayangkan saja ia, yang suka membawa-bawa penasihat hukum, berkelit sembari sembunyi di balik asas praduga tak bersalah, sebuah prinsip yang menurut Profesor J.E. Sahetapy hanya berlaku di dalam ruang pengadilan (lihat http://www.kompasiana.com/dadyandela/presumption-of-innocence). Perilaku itu mirip tindakan penyair atau penulis kacangan yang menyuruk di balik licentia poetica. Setelah menumbuk-numbuk kaidah bahasa yang ia buta terhadapnya, lantang berkata: itulah kebebasan penulis!
Kasus seperti pemakaian kata cemar tidak sendirian dalam praktek kita berbahasa. Contoh lain yang paling dekat adalah membersihkan sampah. Seperti mencemarkan nama baik, tak ada salah pada bangun membersihkan sampah secara gramatika, tata kata. Tapi tata makna adalah soal yang sama sekali berbeda. Di tataran maknalah kita dapat saksikan orang bodoh tengah membersihkan sampah, sementara orang yang tidak bodoh membersihkan jalanan (atau sungai, atau ruangan) dari sampah.
Izinkan sekarang saya mengajak Anda melihat sedikit lebih jauh dimensi lain makna yang keluar dari artefak bahasa, katakanlah semacam metabahasa. Baju, tembok, burung emprit, benda-benda bukan manusia tak bakal bereaksi manakala dicemarkan—sekalipun sampai berulang kali. Tapi tidak P. Ia jadi berang, sebab menurut dia M telah mencemarkan nama baiknya, sedangkan M tidak merasa begitu karena sejauh yang ia tahu, kiprah P tidak membuktikan kehadiran sebuah nama baik. Sekian informasi tentang P yang M serap (baca, dengar, lihat) cukup menjadi alasan M menilai P tidak punya nama baik. P dan M bersimpang paham di klausa mencemarkan nama baik. Di mata M, mencemarkan nama baik P tak lain dari contradictio in terminis. Bagaimana bisa mencemarkan nama yang sudah cemar?
Pengertian nama baik sudah ditangkap berbeda oleh kedua pihak yang bertikai itu. Pada M kita melihat bahwa pengertian, definisi, makna (cemar dan nama baik) meloncat keluar dari rumusan kamus, mencelat dari teks. Ia menggelandang ke konteks, dunia nyata, demi mengumpulkan sejumlah fragmen buat menegaskan dirinya. Dari sudut M, perbuatan P menilap uang negara, menjegal lawan politik secara kasar, menjiplak karya orang lain—itulah cemar, bukan nama baik. Sebaliknya, P dapat meremukkan pengertian yang sudah terbangun tadi begitu bisa ia buktikan bahwa fragmen-fragmen tadi tidak benar. Perbantahan soal di luar teks itu sering amat liat dan keras. Dan di ujungnya menggantung pertanyaan: Di mana batas makna?
Di situ linguistik struktural jelas lumpuh, tak kuasa memberi penjelasan yang memadai mengenai pokok soal. Bagi saya, mengingat bahasa adalah perkara konvensi dan hukum di dalamnya lebih dekat ke kode etik, saya kira batas tersebut terletak pada asas kepatutan. Tetapi P rupanya siap dengan gugatan baru: apakah patut itu? Patut menurut siapa? Siapa bisa bersaksi? Di sini sudah masuklah kita ke ranah linguistik pragmatik—sebuah subdisiplin ilmu bahasa yang barangkali dapat kita harapkan menjelaskan bopeng bahasa kebangsaan kita di semua tataran. l
* Penyusun Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua
Eko Endarmoko* (Kompas, 10 Des 2016)
Perempuan periang kawan saya lebih dari tiga puluh tahun silam itu pada satu hari yang rada heboh tampil di layar televisi. Sayang, saya tidak melihat langsung, melainkan hanya menonton rekamannya lewat internet. Namun, di mata saya di menit itu ia masih saja menawan. Ingin saya cium dahi atau ubun-ubunnya, tapi tidak boleh, dalam hati saya bergumam.
Pesona dia sudah membutakan saya. Itu kentara sekali, bagi saya, pada bangun kalimat di dalam hati saya tadi. Inilah kasus kebahasaan yang sanggup membuat saya alpa, meski cuma barang sebentar, pada si perempuan periang. Tata kalimat ini lebih mengundang saya memandangnya lebih dekat lagi. Apa istimewa kalimat yang sedikit menggelora itu?
Pertama-tama rasa saya perlulah kita periksa kata kuncinya. Ingin mewakili dorongan yang bergolak dalam hati atau pikiran akan terwujudnya suatu perbuatan atau keadaan yang sebenarnya potensial, masih berdiam dalam benak subyek. Artinya, perbuatan atau keadaan itu belum mengejawantah, belum terlaksana di dalam kenyataan. Spektrum makna kata yang antara lain punya kesamaan arti dengan hendak dan akan ini merentang dari angan dan cita-cita di awang-awang sampai kebelet di depan pintu luar kamar kecil. Hendak atau berangan-angan menjadi lembu hanya ada dalam imajinasi. Dan kebelet kencing tentulah sangat kuat dorongan itu sekalipun belum sampai mencurah keluar seluruh air seni seseorang. Bakal berbuah, ingin minum bandrek, hendak tamasya, mau muntah, berharap anda dapat hadir, akan membangun pabrik sabun, mencita-citakan kedamaian di tanah Nusantara—semua pernyataan ini menggambarkan hal-hal yang belum ada, belum terjadi.
Demi menegaskan premis yang rada kerap saya utarakan bahwa tak ada dua kata atau lebih yang persis sama, kita tengoklah sebentar arti kata akan di medan makna ingin. Kata ini, dalam lingkungan senarai sinonimnya (ingin, hendak, mau), beririsan makna di satu ruang yang sama-sama berisi pengertian ”dorongan yang bergolak dalam hati atau pikiran akan terwujudnya suatu perbuatan atau keadaan yang sebenarnya potensial”. Artinya, ia berada dalam kesadaran dan dapat dikendalikan oleh subyek. Tapi, akan di satu titik menyempal dari ruang makna bersama itu, yakni dalam hal ia membawa serta unsur ketidaksadaran dan tak terkendalikan (oleh subyek). Rumah ini akan dijual tentu saja menyiratkan rumah tersebut tidak punya kesadaran, tidak punya keinginan. Atau ini: Tampaknya akan hujan badai. Di dalam pengertian begitu, akan kita lihat lebih dekat ke bakal daripada ke ingin. Menjadi semakin teranglah bahwa ingin sepenuhnya berada dalam kesadaran, dan di bawah kendali, sang subyek.
Subyeklah yang punya kuasa atas kata putus apakah ingin itu dilaksanakan atau tidak. Sebentar kita kembali ke perempuan periang di atas. Bila tiga kata terakhir tapi tidak boleh saya tanggalkan, apakah keinginan saya menjadi pupus, batal? Tidak, sudah pasti tidak. Hanya, ingin itu tetap tinggal menjadi keinginan belaka—selama apa yang saya inginkan tidak saya kerjakan. Tiga kata yang menegasikan, yang membawa larangan bagi pernyataan sebelumnya, di situ tak punya makna atau fungsi apa-apa alias mubazir. Tetapi, bila saya mewujudkan ingin itu (dengan kehadiran tiga patah kata terakhir), yang kita dapati kemudian adalah sebuah paradoks. Sadar tidak boleh, namun dikerjakan juga.
Dalam bentuk tindak ujaran, misalnya, Ingin saya katakan orang itu anjing, tapi tidak boleh, tiga kata terakhir justru membawa tanda tanya sangat besar sebab apa yang tidak boleh itu betapapun sudah diujarkan, tidak membatalkan kehadiran ujaran saya mengatakan (katakan) orang itu anjing dalam kenyataan. Maka, kata ingin di awal kalimat itu sama sekali tak membawa peran atau pesan apa-apa. Dibuang ke tempat sampah pun tak mengapa.
* Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua
Eko Endarmoko* (Kompas, 9 Des 2017)
Kita bacalah dua kalimat ini:
(1)”Ia mengalami rasa sakit melahirkan anak selama tiga hari tiga malam.”
(2)”Lelaki yang terpukul itu menjerit, seolah-olah telah diberi cap dengan besi (seperti hewan ternak yang ditandai), kemudian jatuh berdebum ke bumi.”
Kedua kalimat itu bisa kita temukan dalam novel Ben Okri, The Famished Road: Kisah Seorang Anak yang Terjebak di Alam Roh (penerjemah Salahuddien Gz, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), halaman 282 dan 334.
Gramatikanya tampak beres, biasa saja. Namun, mari coba kita lihat lebih dekat, satu demi satu. Pada kalimat pertama ada klausa ”rasa sakit melahirkan anak”. Bahasa Indonesia kita punya satu kata untuk apa yang dilukiskan oleh klausa itu, royan, yang mengingatkan kita pada novel Ramadhan KH, Royan Revolusi.
Lalu, klausa di kalimat kutipan berikut yang perlu kita catat ini: ”diberi cap dengan besi (seperti hewan ternak yang ditandai)”. Besi di situ maksudnya tentu besi yang panas membara. Juga bahasa Indonesia kita punya satu kata untuk pelukisan yang rada panjang itu: selar, diselar.
Maka, jelas sekali kedua kalimat tadi sebenarnya bisa dirumuskan dengan lebih pendek padat, dapat dibuat lebih efektif:
(1a) ”Ia meroyan selama tiga hari tiga malam.”
(2a) ”Lelaki yang terpukul itu menjerit, seolah-olah telah diselar, kemudian jatuh berdebum ke bumi.”
Kata, konsep, atau istilah adalah satuan bahasa yang dijadikan wakil benda-benda, ide atau pemikiran, perasaan, suatu gejala atau fenomena. Unit bahasa yang umumnya terdiri atas hanya beberapa huruf ini sanggup mengantarkan pengertian yang kompleks sekalipun dari subyek kepada orang lain. Atau, dirumuskan dalam kalimat berbeda, kesemuanya itu memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain dan bekerja sama.
Jadi, kita punya setidaknya dua catatan untuk dua kalimat dari terjemahan novel The Famished Road Ben Okri tadi. Pertama, keduanya bertele-tele karena terkesan menjelas-jelaskan sesuatu yang dapat dikatakan cukup dengan hanya satu kata. Yang jauh lebih penting bagi saya, kata royan dan selar dalam bahasa Indonesia rupanya telah menjadi bagian kecil belaka dari satu bundel koleksi atau khazanah bahasa Indonesia yang hingga hari ini masih saja dibangga-banggakan.
Kebanggaan yang bertolak melulu dari jumlah. Seakan-akan tingkat peradaban bangsa bisa dengan gampang diukur dari jumlah khazanah kata yang mereka miliki. Banyak adalah dahsyat, hebat, menakjubkan.
Menyedihkan adalah, ”bagian kecil”—yang pasti masih bisa kita tambahkan—itu tadi tampak bagi kita lebih menyerupai relik di museum bernama kamus bahasa Indonesia. Mereka terpajan di sana semata sebagai buah akal budi dari masa lampau.
* Penyusun ”Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua”
Eko Endarmoko* (Kompas, 19 Agu 2017)
Mungkin sekali cukup sering kita bersua dengan bentuk dikontrakan atau di kontrakkan. Kedua bentuk ini biasanya mengambil rupa plakat, tulisan di atas secarik kertas atau karton, dan ditempelkan di sisi depan sebuah rumah yang oleh pemiliknya hendak disewakan. Cara ungkap yang sebenarnya bermaksud kelak ditangkap oleh pembacanya sebagai disewakan itu, dengan segera kita tahu, keliru atau menyimpangi kaidah tata bahasa Indonesia. Persisnya keliru baik pada tataran gramatika (di kontrakkan) maupun pada tataran semantika (dikontrakan).
Ya, tentu saja mestinya ditulis dikontrakkan. Konstruksi ini berasal dari kata dasar kontrak yang mendapat awalan /di-/ dan akhiran /-kan/. Akhiran /-kan/ inilah penjelasan mengapa huruf /k/ di situ mutlak mesti ditulis dobel. Bandingkan dengan kata lain yang huruf di ujung belakangnya /k/, lalu beroleh akhiran /-kan/: menaikkan, mendesakkan, misalnya. Pasti sudah jelas jugalah, mengapa apabila huruf /k/ di sana cuma satu, dikontrakan, gampang kita bilang mencong, salah—manakala kata ini dimaksudkan membawa pengertian kurang lebih seperti arti kata disewakan. Sebab, dikontrakan otomatis menggiring kita berpikir bahwa konstruksi itu bermula dari bentuk dasar kontra, bukan kontrak. Berbeda dari di kontrakkan yang keliru secara gramatika, dikontrakan mencong lebih karena tidak membawa pengertian sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya. Ia cacat makna, bukan cacat bentuk.
Di sini dapat kita mengatakan konstruksi dikontrakan tak bisa lain berarti ’ditentangkan’, ’dilawankan’, bukan ’disewakan’. Namun, pada saat yang sama dapat juga kita mengatakan bahwa orang yang membaca kata itu pada plakat di sisi depan sebuah rumah tidaklah serta-merta akan mengartikannya sebagai ditentangkan atau dilawankan. Saya kira tidak sedikit dari para pembacanya akan mengartikannya (secara keliru) sebagai disewakan—persis seperti maksud penulis, sang pemilik rumah. Dan, inilah aspek kebahasaan yang ganjil bin ajaib, mereka sedikit pun tidak merasa ada masalah(!).
Berbeda adalah kasus penulisan konstruksi di kontrakkan. Salah bentuk ini jelas terletak pada penulisan /di/ yang semestinya menyambung, tidak berdiri sendiri: dikontrakkan. Mengapa harus menyambung? Sebab, di situ /di/ adalah awalan, bukan kata depan. Tidak ada dalam bahasa Indonesia kita awalan ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya: memakan, berkumis, pesuruh, perbesar, terangkat, kekasih. Dan tidak ada kata (depan) yang ditulis menyambung dengan kata yang mengikutinya: di kamar, dari kemarin, untuk kamu, hingga sekarang, hampir meninggal, demi Tuhan, atas nama. Pendek kata, /di/ sebagai awalan dan sebagai kata, punya perilaku gramatika yang sangat berbeda.
Tadi saya mengatakan bahwa dikontrakan otomatis menggiring kita berpikir bahwa konstruksi itu bermula dari bentuk dasar kontra, bukan kontrak. Bahwa kita otomatis tergiring ke situ, ini bukan hal yang sama sekali aneh sebab dalam batok kepala tiap orang sudah ada pola-pola bahasa yang meresap sedikit demi sedikit sejak seseorang sanggup berkomunikasi dengan bahasa. Pola itulah yang menjadi sebab kita berpikir bahwa dikontrakan bermula dari bentuk dasar kontra, bukan kontrak.
Lebih menggugah ingin tahu kita adalah, mengapa ada kecenderungan mengingkari pola-pola tersebut? Bagaimana bisa menerima atau menganggap benar sesuatu yang jelas-jelas diketahui salah?
* Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko* (Kompas, 2 Sep 2017)
Sudah lama juga rupanya, bahasa kadang tanpa disadari dipakai secara berlebihan. Beberapa contoh sederhana: naik ke atas, turun ke bawah, berbisik pelan, berteriak keras-keras. Padahal jelas, sudah cukup naik, turun, berbisik, atau berteriak saja.
Dahulu kasus kebahasaan semacam itu, yaitu pemakaian bentuk lewah atau mubazir, mendapat stigma salah kaprah. Inilah, menurut pandangan dahulu itu, kesalahan subversif yang sudah sedemikian meluas dan teramat sering muncul sehingga tidak lagi terasa keliru. Maka, ”gejala tak sehat” ini perlu, bahkan mesti, diberantas atau setidaknya diluruskan—seolah-olah dengan kasus lewah itu, bahasa kita jadi ripuk.
Perbincangan pendek ini bukan bermaksud mengulang soal usang tersebut sembari tidak ingin tergesa-gesa menganggap semua bentuk seperti itu salah, subversif, apalagi sampai tak termaafkan.
Dua alasan mengapa kita tak perlu ikut-ikutan memberi stigma salah secara sepihak. Pertama, sudah lama kita mengenal gaya bahasa yang umurnya saya kira setua bahasa, setua umat manusia. Gaya bahasa adalah siasat, muslihat di dalam berbahasa demi mendapatkan efek tertentu. Ini amat lazim dalam ragam bahasa sastra, tetapi tidak khusus menjadi milik atau hak kalangan sastrawan. Keempat contoh kasus di atas bisa saja kita anggap sebagai gaya yang bermaksud mempertegas, mengeraskan, kata kuncinya. Efek yang sampai ke kita bukan saja kadar intensitas yang lebih besar, tetapi juga pemahaman yang lebih luas, lengkap, dan lebih jelas.
Kedua, benar belaka bahwa bentuk lewah dalam tanda kurung berikut dapat dibuang tanpa mengubah arti: naik (ke atas), turun (ke bawah), berbisik (pelan), berteriak (keras-keras). Dua kata kerja yang pertama, naik dan turun, pada dirinya sudah menunjukkan arah tertentu yang jelas pasti. Dalam pada itu, volume suara orang berbisik sudah pasti pelan, dan suara berteriak tentu keras. Saya bertanya, di mana persisnya letak kesalahan pemakaian bentuk-bentuk lewah dalam tanda kurung di atas? Lewah itu salah?
Dalam tata makna atau semantika, masing-masing dari keempat kata tadi, sudah saya katakan, menyertakan makna lain secara implisit di dalam dirinya. Dan kesertaan makna atau pengertian lain itu niscaya. Pada empat contoh di awal tulisan, naik sudah menyertakan pengertian ke atas, dan seterusnya. Ini agak mirip dengan kata sering, yang bermakna banyak kali atau berkali-kali, tetapi tak jarang masih juga ditambah kata kali: sering kali. Atau kata duda, yang menyertakan pengertian berjenis kelamin laki-laki (tetapi tak pernah kita jumpai duda lelaki).
Bagi saya, lewah pada dua contoh terakhir di atas agak berbeda dari lewah pada empat contoh kasus sebelumnya. Dua bentuk lewah ini tak punya alasan yang cukup untuk berada di sana. Dan tidak kita rasakan ada efek tertentu dalam pencerapan, yaitu pertanda bahwa bentuk pengucapan itu tergolong gaya bahasa. Lewah macam ini rasanya lebih tepat kita sebut lebay.
* Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia
Eko Endarmoko* (Kompas, 23 Sep 2017)
Pada Hari Minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya
—“Naik Delman”, Pak Kasur
Pada mulanya adalah versi, beda penulisan satu kata di satu larik lagu “Naik Delman” Pak Kasur, antara satu dan lain teks. Ada setidaknya tiga versi sejauh yang saya temukan: (1) mengendarai; (2) mengendalikan; dan (3) mengendali (kuda). Seingat saya, lirik di bagian itu adalah mengendali kuda supaya baik jalannya. Ingatan saya bisa saja salah, tetapi melodi di sana meminta ruang untuk kata, sebelum kata kuda,sebanyak empat suku.
Dengan begitu pembunyiannya selaras dalam not dibanding dengan mengendarai atau mengendalikan yang punya lima suku kata. Ini bukan lalu berarti kata bersuku lima tidak bisa. Tentu bisa saja, tapi ini membawa tuntutan atau konsekuensi temponya, kecepatan pembunyian dalam nada atau melodi, jadi harus ditingkatkan. Tiga suku kata terakhir pada kedua kata itu mesti dirampatkan, dibunyikan dua ketukan saja.
Pak Kasur-entah bagaimana mulanya nama panggilan yang akrab di telinga kita itu bisa lahir sebagai jelmaan dari Kak Soer, yaitu sapaan untuk Soerjono semasa aktif di dunia kepramukaan berpuluh tahun silam-barangkali bukan tidak menyadari konsekuensi ini.
Ia tampak sangat mengenal alam anak-anak seperti terpantul pada lagu-lagu ciptaannya. Bukan saja perpaduan lirik dan melodi yang mudah, dalam “Naik Delman” tidak kita temukan satu pun kata yang pelik, rumit. Kuat sekali hasratnya membuat riang anak-anak yang menyanyikan lagu itu. Ia lebih mementingkan melodi, seperti tidak terlampau peduli pada gramatika, pada bahasa, serta berhati-hati di dalam memilih kata. Setelah dua konstruksi yang lengkap, “turut ke kota” dan “duduk di muka”, langsung di larik berikut kita bertemu Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja, “duduk [di] samping” (tanpa kata depan /di/). Tak paham gramatika bahasa Indonesiakah Pak Kasur?
Sebagian guru Bahasa Indonesia di sekolah rendah dan menengah boleh jadi akan menambahkan contoh lain yang menguatkan kecurigaan itu. Mengendali, menurut mereka, adalah konstruksi kata yang sangat asing dalam bahasa Indonesia. Lazimnya memakai akhiran /-kan/: mengendalikan. Inilah yang saya duga amat mungkin mendorong entah siapa menukar kata mengendali dengan mengendarai atau mengendalikan.
Sukar kita mungkiri mengendali nyaris tak terpakai dalam kita berbahasa. Seperti halnya melari, membunyi, memungkin, menduduk,atau memuntah, yang lebih biasa kita jumpai diikuti akhiran /-kan/. Pada saat yang sama, tak kalah melimpah khazanah bahasa kita menyimpan verba berawalan /me-/ tanpa akhiran /-kan/. Melatih, memberi, memvonis, menari, menyanyi, menggendong, mentransfer, menubuh.
Maka, malah kita patut berterima kasih pada Pak Kasur sebab dari mengendali itulah saya kira kita kini mengenal bentuk mengendara.
* Penyusun “Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia”
Eko Endarmoko* (Kompas, 14 Okt 2017)
Banyak kata berseliweran, datang dan pergi begitu saja sering tanpa kita sadari. Berbarengan dengan hadirnya sejumlah kata baru lewat berbagai cara, sekian banyak kata lain mulai jarang dipakai, pudar, dan kemudian lambat laun lenyap. Bukan punah, kecuali apabila masyarakat pendukung atau penuturnya sudah tak ada lagi sehingga bahasa itu tidak berkembang lagi, seperti bahasa Latin atau bahasa Jawa kuna.
Saya katakan lenyap, bukan punah. Sesuatu yang dikatakan lenyap, dalam kenyataan sering bukan punah (seperti beberapa spesies makhluk hidup purba), melainkan cuma luput dari pengindraan. Cuma berpindah tempat (seperti ponsel atau dompet yang disambar copet).
Menjelang usia masuk sekolah dasar di Jakarta, sebelum 1965, saya sekali dua ikut Ibu atau Bibi dalam barisan, mengantre pada pembagian bulgur. Hari-hari ini bulgur sebagai kata (Turki: bulgur; Arab: burghul) boleh dibilang sudah amat jarang atau malah tak lagi pernah dipakai, kecuali jadi penghias kelengkapan kamus. Di sini saya kira menarik apabila kita punya data tentang berapa banyak kata dalam bahasa kita yang sudah terekam dalam kamus, namun tak pernah dipakai lagi alias sudah lenyap.
Sebaliknya, pada sekitar masa itu, bahasa Indonesia belum lagi mengenal sekian kata ”baru” yang populer sekarang, seperti spageti, piza, hamburger, gawai, daring, luring, pratayang, narahubung. Sekian kata ”baru” ini tentu saja hadir tidak dengan tiba-tiba dan tidak dengan begitu saja. Zaman baru datang sambil membawa banyak sekali barang atau konsep yang juga baru. Dan kesemuanya, barang atau konsep-konsep baru itu, memerlukan wadah berupa kata demi memudahkan kita saling berhubungan dan bekerja sama.
Dalam kenyataan, riwayat pertautan kata dan makna sebenarnya melibatkan sebuah proses yang sedikit lebih subtil, bukan serupa panggung tempat sembarang kata bulat-bulat datang dan pergi. Ada kata yang bertahan, tidak lenyap, tapi sebagian komponen maknanya saja yang tanggal. Dan berbarengan dengan itu, salah satu nuansa makna beroleh pengerasan, menjadi lebih menonjol. Contoh yang baik saya kira adalah kata seronok. Tengok saja transformasi maknanya sejak dulu di sana hingga kini di sini. Begini kamus kita mendeskripsikannya: ”menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dan sebagainya)”, atau dalam rumusan lebih ringkas, ”mengasyikkan, menyenangkan”. Kini, dalam banyak data, seronok dipakai lebih dalam pengertian erotis, jorok.
Demikianlah, kata baru datang ke tengah pergaulan kita dengan misi atau maksud tertentu, yaitu menjadi wakil benda-benda atau konsep yang baru. Bahasa di situ ikut dimutakhirkan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Apakah nanti sebuah kata baru diterima, atau sebuah kata lama ditinggalkan—kata berikut maknanya yang labil—nasib mereka sepenuhnya berada di tangan kita, para penutur bahasa (Indonesia), bukan di tangan para pekamus atau perencana bahasa.
* Penyusun ”Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia”
Eko Endarmoko* (Kompas, 11 Nov 2017)
Salah satu ciri menonjol pada polisi bahasa adalah kesukaan mereka mempersoalkan tata cara penulisan kata. Mereka punya semacam kegetolan yang berlebihan pada apa yang menurut mereka merupakan bentuk baku. Pengetahuan, yang kemudian menjadi kepercayaan, mereka tentang baku atau tidak bakunya satu bentuk kata sering disandarkan pada kitab KBBI. Suka dilupakan adalah fakta bahwa kita terkadang