Quantcast
Channel: Eko Endarmoko – Rubrik Bahasa
Viewing all articles
Browse latest Browse all 37

Pelisanan E

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 14 Mei 2024)

Hotman Paris, sang pengacara, belum lama membuka usaha baru berupa tempat makan. Bisnisnya ini laris dalam tempo relatif singkat.

Entah apa yang membuatnya memikat dan menarik banyak konsumen di hari-hari pertama pembukaan—gejala yang kita lihat, misalnya, pada salah satu gerai ramennya di daerah Kuningan, Jakarta, sekitar awal Maret lalu.

Yang lebih menarik adalah pilihan nama tempat makan itu: Hotmen. Nama ini bisa dibaca dengan beberapa cara. Mungkin ada yang membacanya sebagai pelesetan dari nama depan si pemilik, atau barangkali anda menduga ada semacam muslihat di situ agar terbaca /hot mèn/ (hot, Bung).

Tidak salah juga jika ada yang menganggapnya singkatan dari Hotman ramen. Di sini rupanya perlu segera disusulkan sedikit catatan.

Konstruksi ”Hotman ramen” (mungkin secara sengaja) membalikkan hukum DM. Kita tahu, pada frasa bahasa kita, lazimnya kata utama (yang diterangkan) terletak di depan penjelas (yaitu yang menerangkan).

Dalam bahasa Inggris, kebalikannyalah yang banyak kita lihat. Beberapa contoh: anak kecil (small child), orang berumur (old people), lari pagi (morning run), pakaian daerah (regional clothing), dan jembatan bambu (bamboo bridge).

Demikianlah. Penamaan gerai makan bersuasana Jepang tadi boleh dikata cukup kreatif dan provokatif. Ia sekaligus seperti memanggil kembali kaidah pembentukan frasa dalam bahasa kita (hukum DM) ”temuan” Sutan Takdir Alisjahbana.

Betapa pun, menyebut ”ramen” (atau segala apa yang berwarna atau beraroma atau berbau Jepang), mengingatkan saya pada sahabat Jepang saya, Kyoko Funada.

Dalam sebuah kesempatan, telinga saya menangkap jelas ia membunyikan /ramèn/ (e taling), bukan /ramên/ (e pepet)—sekalipun tidak sedikit penutur bahasa Indonesia melafalkannya dengan e pepet.

Malah juga Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi VI/daring, 2023) mencatatnya begitu disertai definisi ”mi kuah khas Jepang, …”. Edisi IV (2008) belum lagi merekamnya.

Dalam bahasa kita yang punya banyak laras dan varian bahasa, pelisanan huruf e—entah pepet atau taling—tentu saja bisa sama ”kacau”-nya dengan laras bahasa tulis. Keduanya sering dengan gampang bertukar tempat. Ajaibnya, para penutur yang kacau itu tampak tidak terlampau sadar, atau tidak peduli.

Sikap begitu antara lain adalah akibat dari fakta bahwa dalam bahasa kita /ê/ dan /è/ tidak banyak membedakan arti, kecuali pada beberapa kata yang tidak banyak jumlahnya.

Peneraan diakritik dalam dua edisi terakhir KBBI amat berbeda. Edisi IV secara konsisten mencantumkan /è/, tapi tidak ada /ê/. Contoh: ada /becak/ (bercak), ada juga /bècak/. Tapi, dalam edisi daring dua kata itu dieja /bêcak/ (bercak) dan /becak/.

Saya pernah menulis, ”… rupanya fonem /e/ taling kadang tampak seperti orang linglung yang membuat kita keder.

Kêdèr terhadap keperluan memberi tanda fonemis /e/ pepet dan taling pada sistem ejaan kita, dan kèdêr mengingat pelafalan sungguh teramat sukar dibuat baku.” (Lihat lebih jauh, ”Keder”, dalam Polisi Bahasa, Penerbit Buku Kompas, 2019: 206.)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 37

Trending Articles