Quantcast
Channel: Eko Endarmoko – Rubrik Bahasa
Viewing all articles
Browse latest Browse all 37

Pengalaman

$
0
0

Eko Endarmoko (Kompas, 18 Jul 2023)

Ada senarai kata bersinonim yang, meski semua punya acuan sama, tiap kata di dalamnya dapat ditafsir atau dirasa berbeda oleh tiap-tiap orang. Beda penangkapan ini karena ada hubungan emosional antara referen dan pemakainya. Maka penulis bisa jadi sangat subyektif dan terkadang sedikit bimbang saat menetapkan pilihan. Kita ambil satu contoh agak klise, kata meninggal.

Bayangkan ketika menjelang jam tenggat habis, seorang wartawan, si Polan, sedang menyelesaikan laporan dan ia sampai pada kata meninggal yang perlu dia ketik. Istri mendiang adalah teman dekat Polan, sedangkan suami temannya itu pejabat teras pelat merah yang baru kemarin siang ditetapkan sebagai tersangka megakorupsi. Ia menghembuskan nafas (KBBI: mengembuskan napas) penghabisannya semalam karena serangan jantung.

Bentuk menghembuskan nafas penghabisan secara naluriah Polan hindari. Terlalu panjang, mengkhianati asas kehematan di dunia jurnalistik. Tapi kata meninggal juga bagi Polan terlalu biasa, kurang menggugah. Maka dia pun giat mencari padanannya.

Rupanya ia enggan menggunakan kata mangkat dan pada saat yang sama, bawah sadar Polan menampik kata-kata yang menurutnya bernada kasar atau kurang pas, seperti mati, tewas—apalagi modar atau mampus.

Demikianlah. Memilih satu di antara senarai kata bersinonim tentu bukan pengalaman Polan seorang. Kita bisa sependapat bahwa kata meninggal sudah amat jamak, atau bahwa kata mangkat tidak patut untuk suami sahabatnya yang sudah menggasak uang rakyat itu. Tapi bisa juga anda malah memilih bentuk meninggal, tidak seperti pilihan Polan, tutup mata.

Penetapan pilihan di antara sejumlah kata bersinonim dalam contoh di atas kita lihat sedikit banyak melibatkan perasaan si pengguna. Ada contoh lain, teman, yang merentang dari sahabat (karib) sampai sekadar kenalan atau relasi. A dan B mengenal Z. Sementara A menyebut Z karibnya, bagi B si Z itu tak lebih dari kenalannya belaka.

Di sisi lain, ada sinonimi yang tidak banyak melibatkan perasaan, tidak menaut pada kedekatan emosional referen sebuah kata dengan pemakainya. Yang kita dapati di sini adalah soal apakah pemakaiannya lazim, sejalan dengan konvensi penutur bahasa yang bersangkutan. Dan, tentu saja, apakah kata itu cukup persis mewakili maksud penutur.

Kata jatuh (sebuah kata umum, generik, yang punya relasi makna dengan banyak sekali kata lain) misalnya, bersinonim antara lain dengan gugur dan ambruk. Daun atau kelopak bunga kering kita katakan gugur, sedang ambruk lazim untuk menyebut bangunan tinggi, misalnya. Pasti ganjil bila dibalik.

Jeanne Martinet (Semiologi, Jalasutra, 2010), menegaskan bahwa linguistik tidak berurusan dengan makna. Artinya, kita tak bisa banyak berharap pada ilmu bahasa yang tidak mengajarkan apa arti (baca: definisi) sebuah kata. Semantik mengeksplorasi bukan makna an sich, melainkan pengertian, berbagai jenis dan aspek makna, serta rupa-rupa relasi makna antara satu kata dan lainnya.

Pertanyaan yang masih menggantung, bagaimana kita dapat memahami makna kata sebelum menaruhnya dalam konteks kalimat dengan sepatutnya. Persis di sinilah kita teringat sebuah petuah lama. Pengalaman adalah sebaik-sebaiknya guru.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 37

Trending Articles