Eko Endarmoko (Kompas, 28 Apr 2018)
Seorang kawan pada satu hari bertanya, kenapa kita mengeja memprotes, bukan memrotes? Juga mengapa mempertinggi, bukan memertinggi? Ia berargumen, bila huruf /p/ di kedua bentuk setelah mendapat awalan /me-/ itu tidak melesap atau luluh menjadi /m/, bukankah itu berarti kaidah kpst dilaksanakan tidak secara konsisten? Ini adalah tanyaan yang sangat logis, dan sebenarnya cukup sederhana—sekalipun jawabannya saya kira tidak bisa dibilang sederhana.
Tidak sederhana karena dua hal. Pertama, bagi saya jawaban atas tanyaan tadi tak cukup memuaskan bila dirumuskan dengan sepatah dua patah kata. Kedua, penjelasan mengenai persoalan klise ini tampaknya masih perlu terus-menerus didengungkan. Memadai, kurang, atau cukup, itu perkara lain. Terus-menerus, supaya norma ini menjadi kebiasaan sebagaimana para pengendara sepeda motor (dan pemboncengnya) mengenakan helm manakala melintasi jalan raya, atau lampu depan sepeda motor menyala di siang hari bila lewat di jalan raya.
Saya sebut ”persoalan klise” sebab saya kira sudah lama dan sudah banyak orang yang membicarakannya. Paling kurang, seingat saya, dua kali sudah saya menuliskannya (Lihat ”Menyinyalir”, Kompas, 14 Juni 2014, dan ”Kaidah yang Goyah”, Tempo, 23 Juni 2014).
Keduanya kemudian dimuat dalam buku saya, Remah-Remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar (Yogyakarta: Bentang, 2017). Katakanlah saya belum bosan, bukan saja karena terdorong semangat mengulang sesuatu yang sudah menjadi klise, melainkan kebetulan ada segi lain pada pertanyaan kawan tadi yang rupanya belum tercakup di dalam kedua tulisan lama saya tadi.
Huruf /p/ di awal kata protes tidak luluh setelah kata itu mendapat awalan /me-/ karena bukan hanya satu konsonan /p/ yang ada di awal sana, tapi sekaligus dua buah konsonan /pr/ yang berderet. ”Kaidah kpst” tidak berlaku pada kata-kata yang diawali gugus atau deret konsonan seperti ini. Contoh lain: mengklarifikasi, mengkredit, memproses, menstarter, menstimulasi, mentransfer.
Dalam kasus begini, bukan ”hukum kpst” yang berlaku, melainkan ”hukum kekekalan”. Jangan pula lupa, ”hukum kpst” pun tidak jalan pada kata-kata bersuku tunggal: mengeposkan, mengesahkan, mengetik.
Berbeda adalah pada bentuk mempertinggi. Tampaknya di sini kurang disadari betul bahwa ”hukum kpst” itu dikenakan pada kata yang huruf awalnya /k/, /p/, /s/, dan /t/. Sedangkan /p/ pada pertinggi menempel pada awalan /per/ yang di situ berarti membuat jadi lebih (tinggi). Contoh lain: memperpanjang, memperluas, memperlunak. Maka, kita kenal jualah bentuk-bentuk seperti mempersoalkan, memperalat, memperbudak, memperistri.
Kaidah di dalam bahasa dibentuk berdasarkan pola-pola kebahasaan sebagaimana mereka hidup dan dipakai oleh para penutur bahasa. Bukan sebaliknya.
Kaidah bahasa tidak serta-merta menentukan, dalam arti membatasi, membekuk, mengharuskan, pada hemat saya. Jadi, janganlah kita terlalu cepat berprasangka buruk kepada para polisi bahasa. Tak ada yang bisa atau punya kuasa melarang Anda memakai bentuk-bentuk seperti memrotes, memertinggi, atau memeralat.
Silakan suka-suka hati Anda. Asal tidak lupa bahwa bahasa Anda menunjukkan siapa diri Anda.