Eko Endarmoko* (Kompas, 23 Sep 2017)
Pada Hari Minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya
—“Naik Delman”, Pak Kasur
Pada mulanya adalah versi, beda penulisan satu kata di satu larik lagu “Naik Delman” Pak Kasur, antara satu dan lain teks. Ada setidaknya tiga versi sejauh yang saya temukan: (1) mengendarai; (2) mengendalikan; dan (3) mengendali (kuda). Seingat saya, lirik di bagian itu adalah mengendali kuda supaya baik jalannya. Ingatan saya bisa saja salah, tetapi melodi di sana meminta ruang untuk kata, sebelum kata kuda,sebanyak empat suku.
Dengan begitu pembunyiannya selaras dalam not dibanding dengan mengendarai atau mengendalikan yang punya lima suku kata. Ini bukan lalu berarti kata bersuku lima tidak bisa. Tentu bisa saja, tapi ini membawa tuntutan atau konsekuensi temponya, kecepatan pembunyian dalam nada atau melodi, jadi harus ditingkatkan. Tiga suku kata terakhir pada kedua kata itu mesti dirampatkan, dibunyikan dua ketukan saja.
Pak Kasur-entah bagaimana mulanya nama panggilan yang akrab di telinga kita itu bisa lahir sebagai jelmaan dari Kak Soer, yaitu sapaan untuk Soerjono semasa aktif di dunia kepramukaan berpuluh tahun silam-barangkali bukan tidak menyadari konsekuensi ini.
Ia tampak sangat mengenal alam anak-anak seperti terpantul pada lagu-lagu ciptaannya. Bukan saja perpaduan lirik dan melodi yang mudah, dalam “Naik Delman” tidak kita temukan satu pun kata yang pelik, rumit. Kuat sekali hasratnya membuat riang anak-anak yang menyanyikan lagu itu. Ia lebih mementingkan melodi, seperti tidak terlampau peduli pada gramatika, pada bahasa, serta berhati-hati di dalam memilih kata. Setelah dua konstruksi yang lengkap, “turut ke kota” dan “duduk di muka”, langsung di larik berikut kita bertemu Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja, “duduk [di] samping” (tanpa kata depan /di/). Tak paham gramatika bahasa Indonesiakah Pak Kasur?
Sebagian guru Bahasa Indonesia di sekolah rendah dan menengah boleh jadi akan menambahkan contoh lain yang menguatkan kecurigaan itu. Mengendali, menurut mereka, adalah konstruksi kata yang sangat asing dalam bahasa Indonesia. Lazimnya memakai akhiran /-kan/: mengendalikan. Inilah yang saya duga amat mungkin mendorong entah siapa menukar kata mengendali dengan mengendarai atau mengendalikan.
Sukar kita mungkiri mengendali nyaris tak terpakai dalam kita berbahasa. Seperti halnya melari, membunyi, memungkin, menduduk,atau memuntah, yang lebih biasa kita jumpai diikuti akhiran /-kan/. Pada saat yang sama, tak kalah melimpah khazanah bahasa kita menyimpan verba berawalan /me-/ tanpa akhiran /-kan/. Melatih, memberi, memvonis, menari, menyanyi, menggendong, mentransfer, menubuh.
Maka, malah kita patut berterima kasih pada Pak Kasur sebab dari mengendali itulah saya kira kita kini mengenal bentuk mengendara.
* Penyusun “Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia”